Minggu, 28 Desember 2008

Me-romantisasi-kan Gerakan mahasiswa (kita)[1]

Bhakti Eko Nugroho[2]

Pada kami timbul keragu-raguan yang besar

Apakah masih ada gunanya belajar,

berdiskusi, dan lain-lain, sedang rakyat kelaparan dimana-mana

Padanya terdapat rangsangan yang kuat untuk bertindak, ‘to take action’[3]

Soe Hok Gie

Keresahan merupakan syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh siapapun yang terlibat dalam gerakan mahasiswa, dahulu atau saat ini. Keresahan pulalah yang memantik gerakan besar mahasiswa tahun 1966, dimana Soe Hok Gie mengambil peran dalam gerakan fenomenal yang berhasil menumbangkan rezim Sukarno (1945-1966) tersebut. Keresahan disini bukanlah ilham atau wahyu yang datang dari goa. Ia merupakan konsekuensi dari proses panjang belajar, membaca, dan berdiskusi sebagai satu bentuk dari pergulatan pencarian pengetahuan. Singkatnya, keresahan merupakan konsekuensi dari intelektualitas. Banyak benarnya dari apa yang dikatakah bung Hatta, bahwa seorang intelektual pastilah orang yang selalu resah, karena ia saksikan kebenaran yang didapati dari teks-teks buku dan ceramah di ruang ilmu ternyata direndahkan diruang hidup yang sebenarnya. Kejujuran, keadilan, cinta mesti ditundukan oleh kuasa dan kesewenangan. Jadilah mayoritas rakyat semakin dipinggirkan dan miskin, sementara minoritas penguasa yang borjuistik terus menerus mengambil keuntungan dari situasi ini. Soe Hok Gie ketika masih berusia remaja, merekam situasi ini dalam catatan hariannya:

Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan.....

Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan isteri-isterinya yang cantik....

Dan rakyat makin lama makin menderita. Aku besertamu orang-orang malang[4].

Pada akhirnya keresahan-keresahan yang bersembunyi dalam setiap jiwa intelektual waktu itu menemukan jodohnya, yaitu momentum. Pemerintahan Soekarno yang lebih terfokus pada wacana revolusioner ternyata menyisakan persoalan ekonomi. Wacana revolusioner pemerintah seakan hal yang begitu utopis, dan rakyat menghadapi persoalan nyata: semakin sulit memperoleh barang-barang dasar karena naiknya harga-harga, dari mulai bahan pokok hingga tarif angkutan. Krisis ekonomi kemudian menciptakan kepanikan dan ketakutan rakyat. Saat itulah, pertautan antara intelektualitas dan realitas bertemu. Soe Hok Gie mengatakan bahwa harus ada balance antara tantangan-tantangan intelektualisme dan kemesraan emosional[5]. Sehingga saat itupulalah dituntut lahirnya keputusan yang cepat dan tepat dari kelompok intelektual ini untuk terlibat atau tidak dalam peristiwa sejarah yang tengah berlangsung itu. Soe Hok Gie-lah, yang kemudian mengambil alih jalan cerita dan menjadi sutradara perjuangan intelektual mahasiswa untuk terlibat saat itu. Dalam catatan hariannya ia katakan:

Aku adalah ‘arsitek’ dalam longmarch ini. Tujuanku sebenarnya tidak banyak. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari betapa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya[6].

Soe Hok Gie dan angkatan 66 sangat cermat membaca persoalan yang ada dan mampu membahasakannya secara sederhana. Mereka berhasil mentransformasikan keresahan individu menjadi suatu keresahan massa. Saat inilah gerakan itu tengah dibangun, melalui slogan-slogan, membangun wacana umum dengan menduduki pompa-pompa bensin, memboikot angkutan kota, hingga rebahan di rel kereta api. Slogan-slogan mereka mudah dicerna dan dalam: Dekat Jauh Dua Ratus (bukan seribu), Turunkan Harga Bensin, DPR Banci, Ritul Menteri-menteri goblok, dll[7]. Gerakan pun kian membesar dan tiap gerakan yang dilakukan selalu diikuti oleh banyak mahasiswa. Yang paling penting, gerakan ini didukung oleh rakyat, dari mulai tumpangan hingga air dan makanan diberikan rakyat kepada mahasiswa. Prof. Nugroho Notosusanto yang pada saat itu menjabat sebagai asisten dekan mengatakan bahwa jika perlu UI di liburkan selama setahun agar mahasiswa bisa terlibat penuh dalam pergolakan ini. Bung Tomo sendiri sempat mengirim surat kepada mahasiswa saat itu dan mengatakan ia siap di tembak bersama mahasiswa[8].

Romantika mereka

Dan mahasiswa-mahasiswa yang kecapaian akhirnya pada pulang. Kantong kosong, badan lelah, dan bau keringat, muka hitam dan dekil. Tetapi mereka tetap semangat. Tomorrow is another day, the day struggle for a better life (soe hok gie)

Romantisasi merupakan hal kunci yang turut meledakan gerakan saat itu, disamping adanya momentum. Romantisasi saya artikan sebagai proses pemaknaan lebih mendalam atas setiap tindakan yang dilakukan. Langkah kaki, teriakan, nyanyian, dan ancaman peluru mereka maknai sebagai proses belajar yang sesungguhnya, yaitu perwujudan diri menjadi mahasiswa dan intelektual yang mampu memberikan sesuatu kepada rakyat bangsanya. Mereka menikmati perjuangan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, menyenangkan dan untuk dikenang. Mereka temukan hal-hal yang mengharukan disela-sela letih mereka. Soe Hok Gie sendiri menuliskan keharuannya pada mahasiswa yang tetap terlibat dalam unjuk rasa mesti mereka tengah berpuasa:

Waktu itu adalah bulan puasa. Betapa mengharukannya. Mereka bersujud padaNya ditengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah tuhan, dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat[9].

Disinipulalah mistifikasi terjadi, bahwa mereka yang terlibat dalam pergolakan dan perjuangan ini tengah melakukan hal yang suci, terhormat, dan heroik. Mereka yang datang dan terlibat dalam gerakan seolah manusia-manusia suci yang memperjuangkan kesucian dan siap mati secara suci pula untuk ibu-pertiwinya. Romantisasi inilah yang turut menjadikan gerakan 66 tetap menjadi romantika dan inspirasi hingga saat ini.

Me-romantisasi-kan gerakan kita

Tidak ada alasan untuk tidak memiliki keresahan hari ini. Jika dulu angkatan 66 menemukan pemakan kulit, hari inipun keadaan tak banyak berbeda. Lumpur Lapindo yang akan menenggelamkan Jawa, mahalnya biaya pendidikan, semakin terbatasnya akses ke Perguruan Tinggi bagi mereka yang miskin, semakin banyaknya penganggur, dan lain-lain, sudah lebih dari cukup untuk mewajibkan keresahan hadir di setiap kita. Dan saya yakin setiap kita yang membaca ini telah memiliki keresahan ini. Kita hanya kalah romantis dengan angkatan 66 dan sebelumnya. Kita lebih senang mencaci dan meratapi jumlah kita yang sedikit dalam setiap unjuk rasa, teriakan yang tak pernah didengar, dan orasi yang membosankan, ketimbang memaknai lebih dalam tentang ‘kesucian’ yang kita tengah lakukan. Kini kita perlu lebih puitis dan lebih pandai menyemangati setiap kita. Karena dari sinilah muncul heroisme. Dari romantisasi ini pula, intelektualitas kita tidak sekedar angka-angka yang berbaris dalam transkip nilai, melainkan sumbangsih yang akan menyeka air mata rakyat bangsa negeri ini. Seperti kata Soe Hok Gie, biarkanlah rakyat tahu bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri dibawah pimpinan patriot-patriot universitas[10].



[1] Ditulis sebagai bahan diskusi tokoh dan pemutaran film dokumenter Soe Hok Gie yang diselenggarakan oleh Dept. Kajian Strategis BEM FISIP UI tanggal 1 Desember 2008, di seminar room MBRC lt 2.

[2] Mahasiswa Kriminologi FISIP UI angkatan 2006, aktivis BEM FISIP UI

[3] Catatan Harian Soe Hok Gie, 16 Maret 1964

[4] Ibid, 10 Desember 1959

[5] Ibid, 17 Agustus 1969

[6] Ibid.

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Ibid

[10]Ibid

Kejahatan Kemiskinan

Bhakti Eko Nugroho
Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia

kejahatan dan Kemiskinan merupakan wujud nyata permasalahan negeri ini. Realitas tersebut demikian tampak manakala ‘layar kaca’, pada pekan-pekan terakhir, menyuguhkan kita situasi paradoks; yaitu kenyataan masyarakat yang terpaksa miskin diatas tanah dan air yang maha kaya. Di Makasar kita temui seorang ibu dan anaknya mati kelaparan. Bayi-bayi di Jember, NTT, NTB, Semarang, Sulawesi, bahkan Jakarta, tengah mengalami kekurangan gizi dan hampir mati pula karenanya. Ibu-ibu dari keluarga miskin di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Depok, Bogor, dan kota-kota lain di negeri ini tengah merasakan kenaikan harga minyak yang membumbung. Berbagai kenyataan pahit tersebut merupakan bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa kemiskinan merupakan musibah besar dan mimpi buruk kita sebagai anak dari bangsa yang besar.

kemiskinan merupakan dua diksi yang menjadi isu utama dalam esai ini. Penjelasannya bukan pemaparan relasional dan kausalitas antara keduanya; yaitu kemisikinan menimbulkan kejahatan, meski bentuk relasi semacam itu akan banyak ditemui pada fakta dilapangan. Setidaknya hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mustafa (2007) bahwa secara individual seseorang melakukan kejahatan dapat berhubungan dengan tidak dinikmatinya kesejahteraan sosial dalam berbagai aspek, dan kemudian tindakan kejahatan yang dilakukannya merugikan pihak lain. Bahkan di penghujung abad 19, ilmuwan sosial seperti Rosseau telah mengatakan bahwa kesengsaraan merupakan induk dari kejahatan.

Akan tetapi, esai ini mencoba menegaskan bahwa kejahatan adalah kemisikinan itu sendiri. Konstruksi yang hidup dimasyarakat tentang definisi kejahatan telah mengaburkan seriusitas masyarakat dalam reaksi terhadap kejahatan tersebut. Quinney menjelaskan bahwa realitas kejahatan dikonstruk oleh kepentingan dominan dengan berbagai kekuatan (hukum, politik, dan ekonomi) dan instrumen (media massa) yang dimiliki. Perilaku yang dianggap bertentangan dengan kepentingan kelompok dominan akan didefinisikan sebagai kejahatan. Sementara, berbagai perilaku yang akan mengokohkan kekuasaan kelompok dominan, meski berimplikasi pada kerugian kelompok lain masyarakat dengan jumlah yang lebih masif, amat jauh dari kemungkinan didefinisikannya perilaku tersebut sebagai kejahatan.

Kemiskinan merupakan situasi dimana masyarakat tidak memiliki aksesibilitas dalam mendapatkan hak-hak dan kebutuhan dasar karena terdapat hambatan-hambatan struktural. Hemat penulis, hambatan struktural tersebutlah yang merupakan awal hadirnya kemiskinan sebagai kejahatan. Sementara, hambatan struktural merupakan keadaan yang menciptakan masyarakat senantiasa terjerat dalam kemiskinan. Terdapat satu hambatan struktural yang sangat berpotensi dalam melahirkan kemiskinan, yaitu kebijakan negara atau state yang inkosisten dengan upaya anti kemiskinan. Bentuk dari kebijakan state yang anti upaya pemiskinan dapat berupa pembiaran dan penanggalan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan demikian, pelaku dalam kejahatan kemiskinan adalah negara bilamana ia mengabaikan pemenuhan hak masyarakat.

Pendidikan merupakan salah satu hak dasar masyarakat Indonesia dan pencerdasan kehidupan bangsa juga merupakan tujuan didirikannya Republik ini. Pada akhir tahun 2007 lalu, melalui pengesahan RUU BHP, pemerintah memutuskan untuk melepas sokongan finansial terhadap penyelenggaraan pendidikan. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah instansi pendidikan harus mendanai secara mandiri penyelenggaraan pendidikannya. Instansi pendidikan pada akhirnya membebankan pembiayaan pendidikan kepada masyarakat. Hal ini akan berdampak pada terbatasnya akses masyarakat dalam mendapatkan pendidikan. Dari sinilah awal perubahan sifat dan fungsi pendidikan, yaitu dari hak menjadi komoditas, karena hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan pembiayaan tersebutlah yang akan memperoleh pendidikan. Data Balitbang Depdknas pada 2003 (dimana negara masih memberikian sokongan finansial) menunjukan bahwa terdapat 15 juta (dari total 25 juta) siswa di Indonesia putus Sekolah. Tiga Juta siswa SMP (dari total sepuluh juta) tidak dapat melanjutkan ke SMA. Dan total masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi hanya lima juta penduduk di seluruh Indonesia.

Terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendidikan merupakan ilustrasi dimana masyarakat tidak memiliki akses dalam memperoleh hak pendidikannya. Pendidikan yang pada awalnya dianggap sebagai instrumen yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat kini hanya dapat di akses oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Alih-alih melakukan mobilitas vertikal, masyarakat miskinpun hanya terjerat dalam lingkar kemiskinanya. Ketidakmampuan masyarakat dalam mendapatkan pendidikan merupakan contoh dari bentuk kemiskinan itu sendiri. Ilustrasi tersebut sekaligus menjelaskan betapa kebijakan negara yang inkonsisten, dapat melahirkan kemiskinan. Dan disinilah situasi dimana kejahatan kemiskinan tengah berlangsung.

RUU BHP merupakan satu contoh dari kebijakan negara yang rentan kemiskinan dan merupakan bentuk dari kejahatan kemiskinan. Pencabutan subsidi bahan bakar pada tahun 2004, kelambananan pemerintah dalam pemenuhan tuntutan hak masyarakat Sidoarjo yang tenggelam lumpur Lapindo, hingga pembiaran kelangkaan minyak saat ini, merupakan bentuk-bentuk lain dari kejahatan kemiskinan.

Kebijakan negara menanggalkan campur tangannya dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya negara keluar dari permasalahan kemiskinan. Berawal dari basis pemikiran Adam Smith, dalam mewujudkan kemakmuran, negara harus seminimal mungkin perannya dalam perekonomian. Melalui minimnya peran negara dalam pembangunan ekonomi diharapkan akan tercipta kompetisi pasar dimana terdapat motivasi besar masyarakat dan senantiasa mengembangkan diri dan potensinya. Akan tetapi, dalam perwujudannya pasar yang diharapkan dapat menciptakan situasi ideal dan kemakmuran malah menjadi monopoli kelompok tertentu. Kekuatan perekonomian didominasi oleh segelintir elit dan masyarakat dalam tataran alit mengalami kekalahan dalam kompetisi. Lebih dari itu, “persekongkolan” pasar dan negara dalam membungkam alit dan mengokohkan kedudukannya berujung pada pemiskinan struktural.

Sebagai reaksi terhadap kebijakan kemiskinan sekaligus menghindari keberlangsungan situasi tersebut, solusi harus muncul political will dari pengelola negara sendiri. Negara diharapkan tidak lagi menanggalkan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakatnya, sebagaimana telah banyak tercantum dalam konstitusi. Negara harus kembali menunjukan keberpihakannya kepada masyarakat dan ini akan terwujud manakala negara terlibat langsung dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan murah berkualitas dan subsidi bahan pokok. Bukan melanggengkan kemiskinan dengan menggadaikan hak rakyat kepada pasar.

Sabtu Malam di Maret akhir

Bhakti Eko Nugroho

Pada mulanya, aku termasuk manusia yang tidak percaya akan adanya teman sejati.

Setiap kawan,

Semua orang,

Selalu saja memiliki cela di hadapanku...

Tak sekali aku merasakan kehampaan dalam hidup

Tak sekali aku merasa sendiri, berjalan menuju arah yang tak ku kenal

Tak sekali aku harus berbalik arah, karena jalan yang kutempuh bukan menuju tempat yang harus

Tapi tak sekali pula

Udara yang berhembus mengusir kehampaan adalah kau

Jarum kompas penunjuk arah adalah nasihatmu

Air pelepas dahaga adalah dari botol minum yang kau punya

Bukan salahmu kini, yang kusesali,

Bukan kurangmu kini, yang kubenci

Sabtu malam di Maret Akhir ini

Aku merasakan betapa pahitnya ternyata, kenangan manis

Sabtu malam ini,

Aku rindu canda dan salah kita

Aku ingin lelah dan tawa kita

Aku damba sombong cemas kita

Aku ingin ulangi kesalahan kita, dan kita pun berkata bak anak muda bijak, ambil hikmahnya saja kawan....

Aku malu padamu kawan,

Ini aku dengan kesombongan dan kehinaan

Ini aku dengan sebanyak-banyaknya kesalahan

Berharap yang terbaik untuk kita

Jika berjalan bersama dapat menjadikan kita manusia pilihan Allah, maka kuharap kita kan bersama,

sebagaimana kebersamaan kita di puncak Lawu, di lembah Surya Kencana, di teras rumahku....

Jika melangkah bersama dapat membuat kita menjadi bagian dari kafilah penegak haq, maka kuharap kita kan kuat,

Sekuat tekad kita saat menyisihkan uang saku untuk membuat propaganda perlawanan, sekuat ketegaran kita saat bangkit kembali dari kealpaan dan kebodohan yang kita-lah arsiteknya...

Terkadang kemanusiaanlah yang tidak memanusiakan kita, sehingga ke-saya-an mengalahkan ke-kita-an...

Ambisi diri membunuh konsensus

Dan cinta palsu mengkhianati kebersamaan

Kini aku paham, bahwa ada kesejatian seorang kawan...

Setidaknya aku yang akan mencoba

Ya allah...kuatkanlah pertalian hati diantara kami, dan berikan kami cahayamu yang mematikan kesombongan kami.

Depok-ku, 29 Maret 2008

Aku Ingin Mendaki

Bhakti Eko Nugroho


Aku ingin mendaki

Tak mengapa menanjak

Biarkan hutan lebat, dingin, licin kulewati

Biarkan hujan membasahi

Aku ingin mendaki

Agar menyaksikan kesempurnaan hidup dan keindahan kebenaran

Aku ingin mendaki untuk mengekang keangkuhan diri

Sebab dengan menyaksikan kedaulatan pencipta, aku akan menemukan kerapuhan dan keroposnya seorang diri ini

Aku ingin mendaki

Tak mengapa letih dan badai berbaur untuk memadamkan semangat

Aku ingin mendaki

Agar memahami bahwa setiap helai daun yang jatuh,

setangkai edelweis di 3000 dpl, dan seorang hamba di rimba hutan

tak akan pernah lepas dari awas dan cinta-Mu

meski ada pula abdiMu yang mencoba melampaui

Aku ingin mendaki

Agar mengenal betapa sukarnya

berjalan di tengah hutan meski dengan kompas

sehingga peluang tersesat dapat ditemui

dan semakin besar peluang itu

jika badai atau kabut datangmenghalangi pandang

sehingga Pencnta Alam yang berkali-kali diklat-pun dapat tersesat

dan pada akhirnya tim SAR akan memahaminya sebagai kelalaian

kemudian memaafkan

Aku ingin mendaki untuk menempa diri

Untuk mengenal kehidupan lain, menerima jiwa lain, dan yang pasti memahami orang lain

Sehingga pada akhirnya Aku memiliki keberanian untuk memaafkan

Dan mampu berkata seperti orang Alim

“Dia benar, saya keliru”


Benarkah Penggunaan Drugs adalah Kejahatan?:

Bhakti Eko Nugroho,

mahasiswa Kriminologi UI

Penggunaan drugs seringkali dikaitkan dengan kejahatan, baik drugs dianggap memiliki pengaruh negatif dan menyebabkan penggunanya melakukan kejahatan maupun penggunaan drugs dianggap kejahatan itu sendiri. Kejahatan itu sendiri pada dasarnya merupakan rumusan yang nisbi. Mustafa (2007) mengatakan bahwa yang disebut kejahatan sebagai gejala sosial tidak semata-mata merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum, bukan merupakan tindakan yang merupakan kelaianan biologis maupun kelaianan psikologis. Yang merupakan ciri utama pengertian diatas adalah bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang merugikan dan melanggar sentimen masyarakat[1]. Jika kita mengacu pada rumusan kejahatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Mustafa, maka yang menjadi titik tekan dari penentuan apakah suatu perilaku dianggap kejahatan atau tidak bukanlah menjadikan aturan formal sebagai acuan.

Dalam konteks Indonesia, apakah penggunaan drugs sebagai bentuk kejahatan atau bukan, tidaklah menjadi perdebatan masyarakat. Penggunaan drugs dalam masyarakat Indonesia telah terkonstruksi sebagai suatu perilaku kejahatan. Indikasi dari adanya pendefinisian penggunaan drugs sebagai kejahatan setidaknya dapat kita lihat dari banyaknya regulasi yang muncul mengenai drugs[2]. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah kehadiran berbagai regulasi atau kriminalisasi terhadap perilaku penggunaan drugs merupakan kebijakan yang diambil akibat adanya masyarakat yang terganggu. Karena bisa saja masyarakat Indonesia, dengan pluralitasnya, pada dsarnya tidak mempersoalkan penggunaan drugs sebagai kejahatan. Permasalahan yang kemudian coba dipahami dan dijawab dalam esai ini kemudian adalah tepatkah pendefinisian dan konstruksi masyarakat kita mengenai penggunaan drugs sebagai salah satu bentuk kejahatan.

Dasar Teoritik

Penulis menggunakan teori kritis dalam melihat persoalan yang diajukan dalam esai ini. Teori kritis sendiri sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat[3]. Lebih jauh Ritzer (2004) mengatakan bahwa teoritisi kritis melontarkan kritik pedas terhadap apa yang mereka sebut sebagai “industri kultur”.[4] Industri kultur menghasilkan apa yang secara konvensional disebut “kultur massa” yang didefinisikan sebagai kultur yang diatur, tak spontan, dimaterialkan, dan palsu, bukan ketimbang suatu yang nyata[5]. Teori-teori kritis memahami kehidupan sosial dan segala fenomena yang ada sebagai produk dari berbagai konstruksi, diproduksi, dan tidak muncul dengan sendirinya. Secara eksplisit teori-teori kritis menyampaikan pesan bahwa terdapat kekuatan hegemoni yang membentuk realitas dan kehidupan sosial kita. Fenomena pembentukan realitas dan kehidupan sosial kita –yang dalam bahasa Ritzer disebut dengan industri kultur- oleh para teoritisi kritis dianggap memiliki pengaruh yang menentramkan, menindas, dan membiuis rakyat[6].

Kejahatan merupakan satu sisi dari kehidupan sosial kita. Salah satu paradigma yang berkembang dalam kriminologi adalah kriminologi kritis. Sama halnya dengan teori-teori sosial kritis yang menjadi induknya, kriminologi kritis menilai bahwa kejahatan merupakan hasil dari konstruksi dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan. Richard Quinney, seorang tokoh kriminologi kritis, membuat beberapa proposisi seputar definisi kejahatan. Proposisi pertamanya menjelaskan bahwa kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen panguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik[7]. Pendefinisian tingkah laku sebagai kejahatan berkaiatan dengan konstruksi “kepanikan moral” masyarakat. Sehingga kepanikan moral bukanlah sesuatu yang murni meresahkan masyarakat, namun perilaku tertentu sengaja dikonstruksi menjadi suatu yang akan mengakibatkan “kepanikan moral”. Howard Becker mengatakan bahwa penegakan nilai moral (moral crusaders) dihasilkan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan untuk membuat aturan (rule creator) dan ‘moral enterpreanur’[8]. Sebuah realitas sosial datau perilaku tertentu, oleh ‘rule ceator’ dan ‘moral enterpreanur’ ini kemudian didefinisikan sebagai kejahatan. Goode (1994) mengatakan bahwa yang merupakan agen dari ‘rule creator’ dan ‘moral enterpreanur’ adalah asosiasi profesional, kepolisian, media, agama, dan pendidikan[9].

Drugs: benarkah bermanfaat?

Kelompok kritis menilai bahwa penggunaan narkotika merupakan perilaku yang sengaja di konstruksikan oleh kepentingan kelompok yang berkuasa sebagai perilaku yang mengancam kepanikan moral. Penggunaan drugs kemudian dibentuk dan didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dan jahat. Argumen dari para ‘rule creator’ dan ‘moral enterpreanur’ yang mengkonstruksikan drugs sebagai perilaku yang mengancam kepanikan moral adalah drugs merupakan kejahatan itu sendiri dan menyebabkan kejahatan lainnya. Namun apakah benar penggunaan drugs merupakan persoalan yang benar-benar meresahkan masyarakat Indonesia. Thombs mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan drugs memiliki manfaat tersendiri bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bahasa Thombs, drugs memiliki empat fungsi sosial, yaitu memfasilitisai keterikatan sosial, membawa pengguna “time out” dari beban dan kewajiban sosialnya dan penguatan solidaritas kelompok[10].

Di Indonesia, penggunaan drugs pada dasarnya telah memiliki fungsi sosiologis tersendiri bagi masyarakatnya, bahkan telah berlangsung sejak abad 19. James Rush (1990) mengatakan bahwa opium (drugs) merupakan teman yang jahat bagi masyarakat di Jawa pada masa itu. Hal ini menunjukan betapa dekatnya masyarakat Indonesia dengan penggunaan drugs pada waktu itu. Menurut Rush, pada waktu itu mengisap opium adalah ciri umum dari kehidupan kota dan desa Jawa abad kesembilan belas[11]. Bahkan jumlah perdagangan drugs di Jawa pada masa itu mencapai 56.000 kg setiap tahunnya[12]. Dalam konteks kekinian, fungsi sosiologis drugs sebagaimana yang disampaikan oleh Thombs kiranya masih relevan. Masyarakat Batak misalnya, meminum arak atau tuak jenis tertetntu dianggap merupakan simbol yang akan menguatkan solidaritas kelompok[13]. Kelompok-kelompok remaja atau pemuda juga seringkali menganggap penggunaan drugs, alkohol, dan lainnya lebih merupakan sarana penguatan solidaritas kelompok mereka.

Mengapa drugs di kriminalisasikan?

Mengapa penggunaan drugs dikriminalisasikan dan seolah mengakibatkan keresahan dan kepanikan moral dalam masyarakat, padahal setelah dianalisa, penggunan drugs tidaklah sepenuhnya bertentangan dengan keinginan masyarakat. Meskipun pada kenyataannya, penggunaan drugs memang menimbulkan dampak yang tidak baik. Husak dan Marneffe (2005) mengatakan bahwa penggunaan drugs pertama dapat membahayakan orang lain dan penggunanya sendiri. Kedua, menciptakan resiko bahaya yang lebih besar yang melanggar peraturan[14]. Dengan adanya regulasi mengenai penggunaan drugs diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari drugs, baik dampak-dampaknya pada kesehatan masyarakat seperti kematian dini, mengurangnya daya tahan tubuh, maupun dampak sosialnya seperti kekerasan, vandalisme, kerusakan pernikahan, penelantaran anak, dan kegagalan dalam pendidikan dan pekerjaan[15].

Renairman (2000) memiliki analisa tersendiri mengapa muncul fenomena regulasi dan kriminalisasi atas perilaku penggunaan drugs. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya regulasi mengenai penggunaan drugs[16], yaitu (1) terdapat satu kenyataan yang menjelskan baik atau buruknya drugs secara mendasar (kenel of truth), (2) pengaruh media (media magnification), (3) konstruksi moral melalui politik (politico-moral enterpreanur), (4) perhatian kelompok profesional (professional interest group), (5) konteks sejarah, (6) merelasikan antara penggunaan drugs dengan kelompok berbahaya, dan (7) mengkambinghitamkan penggunaan drugs sebagai sumber dari masalah sosial.

Fenomena Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan satu dari sekian banyak permasalahan sosial di Indonesia. Penyalahgunaan nerkotika di Indonesia dilakukan oleh hampir seluruh lapisan dan kelompok masyarakat, dari mulai kelompok pekerja, pelajar, mahasiswa, bahkan rumah tangga. Survei nasional yang dilakukan BNN pada tahun 2003 mengenai penyalahgunaan narkotika dikalangan pekerja baik disektor formal maupun informal, menunjukan bahwa sebanyak 14 dari 100 responden pernah menyalahgunakan Narkoba, terutama ganja[17]. Penyalahgunaan narkotika jua banyak terjadi dikalangan penghuni kos. Sebanyak 264 atau 2,4% dari responden di rumah tangga dan 393 orang atau 13,1% dari responden di rumah kos mengaku penyalahguna narkoba[18].

Penyalahgunaan narkotika dikalangan pelajar (SLTP dan SLTA) memiliki jumlah yang juga besar. Penelitian BNN tahun 2003 menjelaskan bahwa jumlah penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar, Dari 13.710 responden di 26 ibukota provinsi dalam setahun terakhir yang menggunakan narkoba adalah 3,9% atau dengan kata lain 4 dari 100 responden adalah penyalahguna narkoba. Jika mengacu pada kategori pernah menyalah-gunakan narkoba terdapat 5,8% responden pernah menyalahgunakan narkoba, atau dengan kata lain 6 dari 100 responden pernah menyalahgunakan narkoba[19]. Kemudian pada tahun 2006, Di antara 100 pelajar dan mahasiswa rata-rata 8 pernah pakai dan 5 dalam setahun terakhir pakai narkoba. Penyalah-gunaan sudah terjadi di SLTP. Di antara 100 pelajar SLTP, rata-rata 4 dalam setahun terakhir pakai Narkoba[20]. Penyalahgunaan narkotika banyak dilakukan oleh kalangan anak di bawah umur. Empat di antara 10 pelajar / mahasiswa penyalah-guna mulai memakai Narkoba saat umur 11 tahun atau lebih muda[21]

Data statistik BNN tahun 2005, diketahui bahwa pengguna narkoba (drugs) di Indonesia mencapai 3,2 juta jiwa atau sekitar 1,5 % dari seluruh jumlah penduduk[22]. Data tersebut terdiri atas 69% kelompok teratur pakai, dan 31% lainnya merupakan kelompok pecandu dengan proporsi pria sebesar 79% dan perempuan 21%[23]. Dari jumlah ini, jumlah penyalahguna teratur-pakai 69% dan pecandu 31%. Kedua kelompok ini mempunyai pola yang hampir sama dalam hal jenis narkoba yang dipakai, kecuali pemakai heroin (putaw) masuk kelompok pecandu. Sedangkan mereka yang pernah memakai narkoba ada sebanyak 13 juta orang atau setara dengan 6% dari jumlah penduduk Indonesia[24]. Separuh dari kelompok pecandu (56%) atau sekitar 572 ribu orang merupakan penyalahguna narkoba suntik. Jumlah penyalahguna narkoba suntik yang terinfeksi hepatitis B diperkirakan sekitar 400 ribu orang, hepatitis C sekitar 458 ribu orang, dan yang mengidap HIV/AIDS (229 ribu orang)[25].

Narkotika dan dampaknya

BNN mencatat kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan drugs akibat penyalahgunaan narkotika adalah sebesar Rp.23,6 triliyun sedangkan biaya ekonomi terbesar adalah untuk pembelian/konsumsi narkoba sebesar Rp11,3 triliun[26]. Diketahui pula bahwa angka kematian pecandu narkotika mencapai 1,5% per tahun atau 15.000 orang meninggal dalam setahun, sehingga kejahatan narkoba tidak akan pernah berhenti untuk melakukan aktivitasnya[27]. ), jumlah kematian di kalangan pecandu narkoba di Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan 15 ribu orang[28].

Narkotika juga dianggap sebagai faktor penyebab tingginya kejahatan. Penelitian BNN tahun 2004 menjelaskan bahwa Pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba. Persentase yang pernah mencuri barang milik keluarga sekitar 16% pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada pecandu; yang pernah mencuri barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok teratur pakai dan 13% pada pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas, atau menodong sekitar 4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu[29]. Disamping itu, peredaran gelap narkotika merupakan bentuk dari kejahatan tersendiri. sejak tahun 2003. Jumlah tersangka kasus Narkoba meningkat setiaptahun, dari sekitar 5.000 tersangka pada tahun 2001 menjadi 32.000 tersangka pada tahun 2006. Dalam kurun waktu 2001-2006 jumlah tersangka kasus mencapai sekitar 85.000 orang[30].

Rata-rata biaya konsumsi narkoba per penyalahguna per tahun meningkat dengan semakin tingginya intensitas pemakaian, yaitu sekitar Rp 1,4 juta pada kelompok teratur-pakai dan Rp 7,8 juta pada pecandu[31]. Rata-rata biaya kerugian karena produktivitas yang hilang karena rawat inap, dipenjara, dan tidak masuk sekolah/ kerja per penyalahguna per tahun lebih banyak pada pecandu (Rp 7 juta) dibanding kelompok teratur pakai (Rp 5,8 juta)[32]. Rata-rata biaya kerugian karena tindak kriminalitas per penyalahguna per tahun adalah Rp 3,7 juta pada kelompok teratur-pakai dan Rp 15,2 juta pada pecandu[33] Jumlah penyalahguna narkoba suntik yang terinfeksi hepatitis B diperkirakan sekitar 400 ribu orang, hepatitis C sekitar 458 ribu orang, dan yang mengidap HIV/AIDS (229 ribu orang)[34].

Konstruksi kepanikan moral dan upaya solutif

Yang kemudian perlu kita cermati adalah tepatkah kriminalisasi atau legalisasi penggunaan drugs ini diterapkan di Indonesia. Data diatas menunjukan bahwa penggunaan drugs dalam konteks ke-Indonesia-an merupakan persoalan dan memiliki dampak kerugian yang nyata, baik kerugian kepada kesehatan pengguna hingga kerugian ekonomis. Adalah benar bahwa persoalan penggunaan drugs di Indonesia merupakan hasil dari konstruksi sehingga menimbulkan kepanikan moral tersendiri terhadap perilaku tersebut. Berangkat dari berbagai dampak penggunaan drugs inilah, “rule creator” dan “moral enterpreanur” melakukan konstruksi penyalahgunaan drugs sebagai hal yang dianggap jahat. Regulasi yang dilakukan oleh kelompok dominan tersebut merupakan upaya solutif dari ekses buruk dari penyalahgunaan drugs di Indonesia.

Keadilan Regulasi

BNN dalam salah satu kesimpulan penelitiannya terkait dengan penyalahgunaan narkotika tahun 2004 menjelaskan bahwa studi ini telah menunjukkan betapa dahsyat dan mendesak permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Penyalahgunaan narkoba merusak fisik, mental dan sosial penyalahguna yang sebagian besar merupakan penduduk usia remaja[35]. Sebagaimana yang dijelaskan Reinarman, drugs seringkali dikambinghitamkan sebagai sumber segala permasalahan sosial. Saya sepakat dengan adanya regulasi mengenai penggunaan drugs guna mencegah adanya efek-efek buruk dari hal tersebut. Namun menilai bahwa drugs merupakan sumber dari kejahatan-kejahatan lain seperti kekerasan, penelantaran anak, kemiskinan, dan lain-lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Husak merupakan sikap yang juga tidak bijaksana. Hal ini mendorong kita menafikan kontribusi faktor sosial-ekonomi-politik lainnya terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Sehingga solusi atas persoalan drugs, selain merumuskan kebijakan-kebijakan jangka pendek dan upaya pengawasan terhadap penyalahgunaan drugs seperti UU no 22 tahun 1997, diperlukan pula upaya yang lebih berwaswasan sosiologis dan jangka panjang.

Referensi

Buku

Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press.

Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana

Rush, James. 1990. Opium to Java: Jawa dalam cengkraman bandar-bandar opium. CV Adipura.

Jurnal

Goode, Erick. 1994. Moral Panic: Culture, Politic, and Social Construction. Jstor

Thombs, Dennis L. 2000. Introduction to Addictive Behavior. Guilford Press

Husak, Douglas dan Marneffe, Peter De. 2005. The Legalization of Drugs. Cambridge University Press

Reinarman, Craig. 2000. The Social Construction of Drug Sares. Belmon Wadsworth.

Internet

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTIwNTA 24 Oktober 2008 pukul 10.37

http://www.kapanlagi.com/h/0000109248.html 24 Oktober 2008 pukul 10.39

Hasil Survey Nasional Penyalahguanaan Dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar Dan Mahasiswa Di 33 Propinsi Di Indonesia Tahun 2006 diambil dari www.bnn.go.id

Kumpulan hasil-hasil Penelitian penyalahgunaan Dan peredaran gelap narkoba Di indonesia tahun 2003—2006 diterbitkan oleh Puslitbang & info lakhar bnn MEI 2007 diambil dari http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a

.



[1] Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press. Hal 17.

[2] Bentuk kriminalisasi penggunaan drugs di Indonesia tercermin dalam UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, dijelaskan bahwa bahwa narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanda pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Sementara pada poin selanjutnya (D) disebutkan pula bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi,menanam menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. dikutip dari http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/13/prn,20040413-05,id.html tanggal 24 Oktober 2008 pukul 10.24

[3] Bleich (1997) dalam Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 176

[4] Istilah Ritzer dalam menjelaskan bahwa kultur merupakan produk yang dipaksakan atau diciptakan hadir. Dikutip dari Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180.

[5] Jay, 1973 dalam Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180

[6] D. Cook, 1996 Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180

[7] Dikutip dari Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press. Hal 91.

[8] Goode, Erick. 1994. Moral Panic: Culture, Politic, and Social Construction. Hal 165

[9] ibid

[10] Thombs, Dennis L. Introduction to Addictive Behavior. Guilford Press. Hal 203

[11] Rush, James. 1990. Opium to Java: Jawa dalam cengkraman bandar-bandar opium. CV Adipura. Hal 58

[12] James Rush mengatakan bahwa sejal 1619 hingga 1799 VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke Jawa setiap tahunnya.

[13] Informasi di peroleh dari profesor Adrianus Meliala dalam kuliah kejahatan narkotika tanggal 1 September 2008 pukul 10.30

[14] Husak, Douglas dan Marneffe, Peter De. 2005. The Legalization of Drugs. Cambridge University Press. Hal 109

[15] Ibid.

[16] Reinarman, Craig. 2000. The Social Construction of Drug Sares. Belmon Wadsworth. Hal 151

[17] Data meruakan hasil dari Penelitian Peredaran Gelap Narkoba tahun 2003. Penelitian dilakukan BNN di 15 provonsi di Indonesia dengan melibatkan 8000 responden pekerja. Diperoleh dari Kumpulan hasil Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003—2006. diakses di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a tanggal 27 November 2008 pukul 9.37 wib.

[18] Ibid

[19] ibid

[20] Hasil Survey Nasional Penyalahguanaan Dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar Dan Mahasiswa Di 33 Propinsi Di Indonesia Tahun 2006. dikutip di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a. tanggal 27 November 2008 pukul 9.40

[21] ibid

[22] Informasi diakses di http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTIwNTA= 24 Oktober 2008 pukul 10.37

[23] Informasi dari ketua BNN Brigjen Pol dr Eddy Saparwoko. Informasi diakses di http://www.kapanlagi.com/h/0000109248.html 24 Oktober 2008 pukul 10.39

[24] Diperoleh dari Kumpulan hasil Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003—2006. diakses di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a tanggal 27 November 2008 pukul 9.37 wib.

[25] Ibid

[26] Ibid

[27] Ibid

[28] Ibid

[29] Ibid

[30] Ibid

[31] Ibid

[32] ibid

[33] Ibid

[34] Ibid

[35] ibid

RUU BHP;

Bhakti Eko Nugroho,
Ketua Departemen Kajian Strategis BEM FISIP UI

BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan badan hukum bagi penyelenggaraan dan atau satuan pendidikan formal, yang berperan memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan. RUU BHP Berpangkal dari amanat UU sisdiknas No 20 tahun 2003 yang menuntut otonomisasi institusi pendidikan. Otonomisasi institusi pendidikan ini secara kasat mata jelas memiliki tujuan luhur, yakni agar insitusi pendidikan, dari mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Tingkat Perguruan Tinggi, memiliki ruang yang besar dalam melakukan manajerial dan pengelolaan institusi pendidikan yang bersangkutan. Dengan otonomisasi ini, diharapkan dapat mengembangkan kreativitas, inovasi, mutu, dan fleksibilitas dalam penyelenggaraan pendidikan.

Akan tetapi, kehadiran RUU BHP ini jelas sesat dan menyesatkan. Tentunya kita akan bersepakat jika institusi pendidikan diberikan ruang yang luas dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan yang kreatif dan model pembelajaran yang inovatif, sehingga akan meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Namun bukan berarti institusi pendidikanpun harus mandiri dalam hal pendanaan. Jika institusi pendidikan dibebankan untuk mencari pendanaannya sendiri, maka rakyatlah yang kemudian akan menjadi korban. Tragedi berubahnya status beberapa PTN menjadi BHMN pada awal 2000 lalu cukup menjadi contoh bahwa ketika negara lepas tangan dalam pendanaan pendidikan dan institusi pendidikan di bebankan untuk mencari sendiri pendanaannya, maka rakyatlah yang akan dikorbankan. Guna mendapatkan dana penyelenggaraan pendidikan, UI memberlakukan Admission Fee hingga 25 juta rupiah. ITB dan UGM yang menetapkan biaya kuliah yang tak kalah mahal pula. Institusi pendidikan akan berlomba-lomba menaikan biaya pendidikan dengan dalih kebutuhan pendanaan yang tidak lagi disubsidi negara. Bagi masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik, mahalnya beban pendidikan tentunya bukan menjadi soal. Namun bagaimana nasib kelompok masyarakat yang miskin?.. Nasib kelompok masyarakat yang malam ini makan namun tak tahu esok bisa sarapan tidak?...

Dalam pembukaan UUD 1945, diterangkan bahwa Negara ini didirikan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UU HAM, pendidikan-pun tak lepas dari hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi negara. Sama seperti hak sipil, politik, ekonomi, dan budaya lainnya. Substansi dari RUU BHP adalah semakin kecilnya peran negara dalam mendanai pendidikan. Jawaban RUU ini dalam pemenuhan kebutuhan dana dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri adalah menjadikan institusi pendidikan sebagai korporasi. Sehingga, institusi pendidikan akan lebih terfokus pada pencarian dana dari pada meningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Muncul pertanyaan dalam benak kita, buat apa punya negara yang punya tujuan ‘mencerdaskan’, kalau toh untuk cerdas rakyat harus bayar mahal.

RUU BHP telah menjadi bola liar selama empat tahun belakangan. Mahasiswa tetap memiliki sikap yang pasti, bahwa pendidikan adalah hak rakyat yang negara harus penuhi. Konon, 20 Agustus 2008 besok, RUU ini akan disahkan. Kita semua tahu bahwa pendidikan hal penting. Saking pentingnya, negara pun mewajibkan rakyat untuk memenuhi kewajiban belajar 9 tahun. Tapi sayang negara ini kembali inkonsisten. Disatu sisi negara membebankan wajib belajar untuk rakyatnya, namun dilain sisi, kewajiban negara untuk memenuhi beban biaya pendidikan rakyat di reduksi dengan kehadiran RUU BHP. Ketika negara ini lagi-lagi salah arah. Ketika rakyat miskin semakin jauh dari mimpi merubah kemiskinannya melalui pendidikan. Maka saat inilah, kita bergerak!.