Minggu, 28 Desember 2008

Apa Kabar Teluk Jakartaku?

Bhakti Eko Nugroho

Mahasiswa Kriminologi UI

Ketua Departemen Kajian Strategis BEM FISIP UI

Sebagai isu minor, persoalan pengrusakan dan pencemaran ekologis di kawasan teluk Jakarta yang telah berlangsung setidaknya sejak empat tahun lalu, belum mendapatkan porsi perhatian yang cukup, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri. Bagi masyarakat Jakarta yang aktivitasnya bersentuhan langsung dengan lokasi di kawasan teluk Jakarta, mungkin paham betul bahwa pencemaran dan pengrusakan ekologis di kawasan tersebut merupakan permasalahan laten dan serius yang memerlukan upaya pembenahan. Namun karena minimnya pemberitaan media massa, persoalan serius ini tidak menjadi opini masyarakat Jakarta lain yang tidak banyak bersentuhan dengan lokasi tersebut. Padahal, permasalahan ekologis di teluk Jakarta ini, jika terus menerus diabaikan dan tidak secepatnya dicarikan solusi, masyarakat Jakarta di tempat yang relatif jauh dari kawasan ini pun akan terkena imbas dari bencana ekologis di teluk Jakarta.

Sedikitnya terdapat tiga belas sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Enam hilir sungai diantaranya, yaitu Muara Kamal, Muara Cengkareng, Muara Angke, Muara Karang, Muara Sunter, dan Muara Blencong, oleh BPLHD dikategorikan sebagai hilir sungai dengan tingkat pencemaran berat. Sementara Muara Ancol, Muara Cakung, dan Kali Kresek merupakan hilir sungai yang oleh BPLHD dikategorikan sebagai hilir sungai dengan tingkat pencemaran ringan.

Pencemaran inilah yang berimplikasi pada kerusakan ekologis di kawasan teluk Jakarta. Banyak spesies dan biota laut yang populasinya terancam akibat habitatnya tercemar. Pada 2004 lalu, ditemui jutaan dari sebelas jenis ikan mati diantaranya dari jenis ikan kerapu, baronang, bawal, pari, udang, rajungan, dan kembung (Kompas, 14 April 2005). Penyu sisik terancam punah dan 39 spesies burung musnah (Kompas, 7 Juli 2007). Pencemaran Teluk Jakarta juga merusak habitat dan keberadaan hutan Mangrove. Hutan Mangrove di Muara Angke, pada tahun 2007 lalu hanya tinggal 10% dari jumlah aslinya sebelum terjadi pencemaran di kawasan itu (Kompas, 9 Juli 2007). Begitupula Mangrove yang berada di kawasan pesisir Kepulauan Seribu yang kini tinggal 10% dari total 1300 hektar (WALHI).

Tercemarnya teluk Jakarta tidak sebatas berimplikasi pada kerusakan ekologis di kawasan tersebut. Akibat pencemaran, kehidupan ribuan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari alam teluk Jakarta akan semakin sulit. Beberapa kali penulis memiliki kesempatan berdiskusi dengan salah seorang nelayan teluk Jakarta. Pencemaran teluk Jakarta membuat hidup masyarakat nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin. Sebelum pencemaran dahulu, ikan dan tangkapan lain akan mudah didapat di sekitar pantai atau sejauh-jauhnya 200 meter dari bibir pantai. Namun setelah tercemarnya teluk Jakarta, nelayan harus berlayar hingga dua mil untuk mendapatkan tangkapan. Dikawasan teluk Jakarta yang telah tercemar, tangkapan amat sulit didapat.

Hal ini jelas merupakan beban tambahan bagi nelayan, karena nelayan mesti mengeluarkan biaya bahan bakar tambahan untuk jarak berlayar yang lebih jauh. Padahal, harga bahan bakar untuk menjalankan perahu semakin lama semakin mahal. Kenyataan ini menyebabkan banyak dari nelayan yang beralih profesi. Setelah tercemarnya teluk Jakarta, aktivitas nelayan diatas perahu bukan lagi menangkap ikan, namun ‘menangkap’ sampah. Memulung di teluk Jakarta adalah profesi yang kini banyak dilakukan nelayan. Hal diatas menjelaskan bahwa tercemarnya teluk Jakarta memiliki implikasi serius terhadap eksistensi ekologis di kawasan tersebut dan kesejahteraan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada teluk Jakarta.

Akar pencemaran dan kerusakan

Sebagian kalangan menilai bahwa tercemarnya teluk Jakarta disebabkan oleh limbah rumah tangga yang banyak dibuang di sungai-sungai yang mengalir ke teluk Jakarta. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta misalnya, mengatakan bahwa tercemarnya teluk Jakarta disebabkan karena limbah rumah tangga yang dibuang di sungai yang mengalir ke teluk Jakarta.Teluk Jakarta harus menampung beban sampah sedikitnya 161 ton sampah setiap hari yang memeuhi area seluas 514 kilometer persegi. Perlu kita akui bersama bahwa hingga hari ini, pemerintah Jakarta belum mampu menyediakan fasilitas pengolahan limbah rumah tangga secara kolektif, sehingga limbah-limbah rumah tangga masyarakat Jakarta langsung masuk ke sungai-sungai dan langsung bermuara di teluk Jakarta.

Namun indikasi bahwa limbah rumah tanggalah yang merupakan sumber pencemaran dan rusaknya ekologis teluk Jakarta satu-satunya, janganlah kita terima secara bulat. Semestinya kita tidak menutup mata bahwa privatisasi kawasan pesisir Jakarta secara besar-besaran sejak 4 - 5 tahun lalu juga merupakan salah satu aktivitas yang juga berdampak pada pencemaran dan kerusakan ekologis teluk Jakarta. Privatisasi yang telah dan tengah berlangsung di teluk Jakarta tersebut sedikitnya berwujud pada aktivitas industri yang mengabaikan lingkungan dan reklamasi pesisir.

Industri: buang limbah sembarangan

800 buah pabrik industri yang beroperasi di sepanjang pesisir Jakarta dianggap oleh banyak kalangan masyarakat, akademisi, dan nelayan sebagai sumber pencemaran dan pengrusakan ekologi teluk Jakarta. M. Rudi Wahyono, direktur Indo Repro Indonesia pada tahun 2004 lalu sempat melakukan penelitian mengenai sumber utama pencemaran teluk Jakarta. Ia mengatakan bahwa sumber-sumber pencemaran tersebut pertama adalah unsur logam berat Fe (besi), Se (selenium), Co (kobalt) yang berasal dari industri pencelupan kain, cat, alat elektronik, logam/alloy, kendaraan bermotor dan pestisida. Logam-logam berat tersebutlah yang kemudian menjadi penyebab matinya ikan dan beragam biota laut lainnya. Kedua, di perairan teluk Jakarta ditemukan unsur sedimen (TSS) yang membuat air laut kian menjadi keruh. Hal ini akan menghambat masuknya sinar matahari dan mengambat proses fotosintesis yang harusnya dilakukan oleh banyak biota laut. Ketiga, adalah adanya POP (Presistent Organic Pollutan) yang berasal dari industri kimia. Limbah ini dapat menyebabkan kanker, cacat, dan penyakit kronis lain bilamana manusia mengkonsumsi ikan dan biota laut yang telah tercemar limbah tersebut.

Kecil kemungkinan jika mengendapnya berbagai limbah logam dan kimia di teluk Jakarta tersebut berasal dari limbah rumah tangga. Hingga hari ini ratusan pabrik industri masih beroperasi di kawasan teluk Jakarta dengan tanpa pengawasan yang ketat dari pemerintah. Nelayan bersamaan dengan aktivis lingkungan (WALHI) sempat beberapa kali melakukan investigasi terhadap pabrik-pabrik yang beroperasi disana. Dari investigasi tersebut ditemukan bahwa dari lima industri yang beroperasi di pantai Ancol, tiga diantaranya memiliki saluran pembuangan yang langsung mengarah ke laut (Sinar Harapan, 21 Mei 2004).

Reklamasi pesisir

Pencemaran dan pengrusakan teluk Jakarta juga di pengaruhi oleh reklamasi besar-besaran pesisir Jakarta. Reklamasi yang dilakukan sejak tahun 1995 pada dasarnya telah ditentang oleh ribuan masyarakat nelayan. Namun hingga saat ini, reklamasi masih tetap dilakukan bahkan dalam jumlah yang lebih masif. Reklamasi pantura misalnya, akan menimbun Teluk Jakarta dengan bahan urugan sebanyak 330 juta m3 dan seluas 2700 ha. Reklamasi inilah yang secara langsung berdampak pada kerusakan ekologis teluk Jakarta. Tak hanya menimbulkan kerusakan pada kehidupan ekologis di sekitar teluk Jakarta, reklamasi teluk Jakarta juga turut mempengaruhi keseimbangan ekologis kota Jakarta secara umum. Reklamasi tersebut telah merubah struktur hidrografis dan geografis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Proyek reklamasi teluk Jakarta yang diperuntukan bagi pemukiman mewah dilengkapi dengan tanggul-tanggul yang tidak hanya menghadap ke laut, tapi juga menghadap kepedalaman Jakarta. Hal ini menyebabkan air hujan tidak lagi bebas mengalir ke laut atau rawa. Akibatnya, air hujan menggenang di bagian tengah kota Jakarta. Hal ini lah yang merupakan satu penyebab mengapa kawasan-kawasan seperti Cawang, Kalibata, Kampung Melayu, Tebet, dan kawasan lain di bagian tengah Jakarta, hampir setiap musim hujan tergenang banjir.

Reklamasi juga tak lepas dampaknya terhadap pemiskinan masyarakat Nelayan. Selain semakin berkurangnya hasil tangkapan karena rusaknya ekosistem teluk Jakarta, nelayan juga harus kehilangan tempat tinggal. Sedikitnya 2500 KK nelayan yang menempati desa-desa nelayan sepanjang teluk Jakarta dan sebagian besar telah lahir, besar, dan hidup bersama dengan Teluk Jakarta harus di gusur lantaran kekumuhannya dan dianggap sebagai sumber pencemaran.

Privatisasi: pangkal bencana teluk Jakarta

"The earth has enough for everyone's need, but not for anyone's greed": begitulah kira-kira kata Mahatma Ghandi. Keserakahan privat yang berselingkuh dengan kesewenangan otoritas dalam orientasi abadi mencari keuntungan materi sebesar-besarnya mengakibatkan terabaikannya hak publik dan keasrian alam. Jika mengacu pada pasal 33 UUD 1945 yang mengatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat, maka semesetinya kekayaan pesisir membawa keberkahan bagi kehidupan masyarakat, dalam konteks ini adalah nelayan. Namun kenyataannya tidaklah seideal sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi. Kekayaan teluk Jakarta, lebih banyak diperuntukan bagi kepentingan privat dalam rangka menyenangkan kelompok kecil masyarakat yang memiliki otoritas dan modal.

Di Teluk Jakarta ini, kehadiran negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan nelayan dan keasrian ekologis merupakan kenyataan yang ditunggu. Disini memang terdapat RT, RW, atau kelurahan. Namun disini pula, nelayan selalu saja kalah saat bersengketa dengan industri. Negara (pemerintah kota) belum menunjukan keberpihakan yang lebih pada lingkungan Teluk Jakarta dan ribuan nelayan yang menggantungkan hidup darinya. Ketika muncul pencemaran, nelayan-lah yang pertamakali disudutkan. Seolah seluruh mata tertutup dan bersama-sama menafikan eksploitasi pesisir dan teluk Jakarta berupa industrialisasi dan reklamasi yang terus menerus berlangsung hingga hari ini tidak berimplikasi pada rusaknya teluk Jakarta kita. Sedikitnya dua hal yang mesti segera pemerintah kota lakukan: menghentikan eksploitasi Teluk Jakarta (privatisasi yang mengabaikan hak publik dan hak alam) dan memberikan seluas-luasnya akses kepada nelayan tradisional dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Sambil melakukan upaya advokasi yang terus menerus dan progresif dengan tujuan melahirkan kesadaran pengelola negara ini dalam menunaikan amanah untuk berpihak pada rakyat, peran nyata kita, meski sederhana, bukanlah tak berarti apa-apa. Mulailah kita menjalani hidup dengan kecintaan yang penuh pada lingkungan Jakarta kita. Hemat dan bijaksana dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak membuang sampah ke sungai, dan upaya sederhana lain. Jika dimulai oleh tiap-tiap kita, kemudian tiap-tiap kita mentransformasikan kesadaran individual kita kedalam sebuah kesadaran kolektif, sedikit demi sedikit, lambat laun, pencemaran dapat terminimalisasi. Mudah-mudahan Teluk Jakarta kita akan kembali biru dan nelayan kita tak malu untuk tersenyum lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar