Minggu, 28 Desember 2008

Benarkah Penggunaan Drugs adalah Kejahatan?:

Bhakti Eko Nugroho,

mahasiswa Kriminologi UI

Penggunaan drugs seringkali dikaitkan dengan kejahatan, baik drugs dianggap memiliki pengaruh negatif dan menyebabkan penggunanya melakukan kejahatan maupun penggunaan drugs dianggap kejahatan itu sendiri. Kejahatan itu sendiri pada dasarnya merupakan rumusan yang nisbi. Mustafa (2007) mengatakan bahwa yang disebut kejahatan sebagai gejala sosial tidak semata-mata merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum, bukan merupakan tindakan yang merupakan kelaianan biologis maupun kelaianan psikologis. Yang merupakan ciri utama pengertian diatas adalah bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang merugikan dan melanggar sentimen masyarakat[1]. Jika kita mengacu pada rumusan kejahatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Mustafa, maka yang menjadi titik tekan dari penentuan apakah suatu perilaku dianggap kejahatan atau tidak bukanlah menjadikan aturan formal sebagai acuan.

Dalam konteks Indonesia, apakah penggunaan drugs sebagai bentuk kejahatan atau bukan, tidaklah menjadi perdebatan masyarakat. Penggunaan drugs dalam masyarakat Indonesia telah terkonstruksi sebagai suatu perilaku kejahatan. Indikasi dari adanya pendefinisian penggunaan drugs sebagai kejahatan setidaknya dapat kita lihat dari banyaknya regulasi yang muncul mengenai drugs[2]. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah kehadiran berbagai regulasi atau kriminalisasi terhadap perilaku penggunaan drugs merupakan kebijakan yang diambil akibat adanya masyarakat yang terganggu. Karena bisa saja masyarakat Indonesia, dengan pluralitasnya, pada dsarnya tidak mempersoalkan penggunaan drugs sebagai kejahatan. Permasalahan yang kemudian coba dipahami dan dijawab dalam esai ini kemudian adalah tepatkah pendefinisian dan konstruksi masyarakat kita mengenai penggunaan drugs sebagai salah satu bentuk kejahatan.

Dasar Teoritik

Penulis menggunakan teori kritis dalam melihat persoalan yang diajukan dalam esai ini. Teori kritis sendiri sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat[3]. Lebih jauh Ritzer (2004) mengatakan bahwa teoritisi kritis melontarkan kritik pedas terhadap apa yang mereka sebut sebagai “industri kultur”.[4] Industri kultur menghasilkan apa yang secara konvensional disebut “kultur massa” yang didefinisikan sebagai kultur yang diatur, tak spontan, dimaterialkan, dan palsu, bukan ketimbang suatu yang nyata[5]. Teori-teori kritis memahami kehidupan sosial dan segala fenomena yang ada sebagai produk dari berbagai konstruksi, diproduksi, dan tidak muncul dengan sendirinya. Secara eksplisit teori-teori kritis menyampaikan pesan bahwa terdapat kekuatan hegemoni yang membentuk realitas dan kehidupan sosial kita. Fenomena pembentukan realitas dan kehidupan sosial kita –yang dalam bahasa Ritzer disebut dengan industri kultur- oleh para teoritisi kritis dianggap memiliki pengaruh yang menentramkan, menindas, dan membiuis rakyat[6].

Kejahatan merupakan satu sisi dari kehidupan sosial kita. Salah satu paradigma yang berkembang dalam kriminologi adalah kriminologi kritis. Sama halnya dengan teori-teori sosial kritis yang menjadi induknya, kriminologi kritis menilai bahwa kejahatan merupakan hasil dari konstruksi dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan. Richard Quinney, seorang tokoh kriminologi kritis, membuat beberapa proposisi seputar definisi kejahatan. Proposisi pertamanya menjelaskan bahwa kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen panguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik[7]. Pendefinisian tingkah laku sebagai kejahatan berkaiatan dengan konstruksi “kepanikan moral” masyarakat. Sehingga kepanikan moral bukanlah sesuatu yang murni meresahkan masyarakat, namun perilaku tertentu sengaja dikonstruksi menjadi suatu yang akan mengakibatkan “kepanikan moral”. Howard Becker mengatakan bahwa penegakan nilai moral (moral crusaders) dihasilkan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan untuk membuat aturan (rule creator) dan ‘moral enterpreanur’[8]. Sebuah realitas sosial datau perilaku tertentu, oleh ‘rule ceator’ dan ‘moral enterpreanur’ ini kemudian didefinisikan sebagai kejahatan. Goode (1994) mengatakan bahwa yang merupakan agen dari ‘rule creator’ dan ‘moral enterpreanur’ adalah asosiasi profesional, kepolisian, media, agama, dan pendidikan[9].

Drugs: benarkah bermanfaat?

Kelompok kritis menilai bahwa penggunaan narkotika merupakan perilaku yang sengaja di konstruksikan oleh kepentingan kelompok yang berkuasa sebagai perilaku yang mengancam kepanikan moral. Penggunaan drugs kemudian dibentuk dan didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dan jahat. Argumen dari para ‘rule creator’ dan ‘moral enterpreanur’ yang mengkonstruksikan drugs sebagai perilaku yang mengancam kepanikan moral adalah drugs merupakan kejahatan itu sendiri dan menyebabkan kejahatan lainnya. Namun apakah benar penggunaan drugs merupakan persoalan yang benar-benar meresahkan masyarakat Indonesia. Thombs mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan drugs memiliki manfaat tersendiri bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bahasa Thombs, drugs memiliki empat fungsi sosial, yaitu memfasilitisai keterikatan sosial, membawa pengguna “time out” dari beban dan kewajiban sosialnya dan penguatan solidaritas kelompok[10].

Di Indonesia, penggunaan drugs pada dasarnya telah memiliki fungsi sosiologis tersendiri bagi masyarakatnya, bahkan telah berlangsung sejak abad 19. James Rush (1990) mengatakan bahwa opium (drugs) merupakan teman yang jahat bagi masyarakat di Jawa pada masa itu. Hal ini menunjukan betapa dekatnya masyarakat Indonesia dengan penggunaan drugs pada waktu itu. Menurut Rush, pada waktu itu mengisap opium adalah ciri umum dari kehidupan kota dan desa Jawa abad kesembilan belas[11]. Bahkan jumlah perdagangan drugs di Jawa pada masa itu mencapai 56.000 kg setiap tahunnya[12]. Dalam konteks kekinian, fungsi sosiologis drugs sebagaimana yang disampaikan oleh Thombs kiranya masih relevan. Masyarakat Batak misalnya, meminum arak atau tuak jenis tertetntu dianggap merupakan simbol yang akan menguatkan solidaritas kelompok[13]. Kelompok-kelompok remaja atau pemuda juga seringkali menganggap penggunaan drugs, alkohol, dan lainnya lebih merupakan sarana penguatan solidaritas kelompok mereka.

Mengapa drugs di kriminalisasikan?

Mengapa penggunaan drugs dikriminalisasikan dan seolah mengakibatkan keresahan dan kepanikan moral dalam masyarakat, padahal setelah dianalisa, penggunan drugs tidaklah sepenuhnya bertentangan dengan keinginan masyarakat. Meskipun pada kenyataannya, penggunaan drugs memang menimbulkan dampak yang tidak baik. Husak dan Marneffe (2005) mengatakan bahwa penggunaan drugs pertama dapat membahayakan orang lain dan penggunanya sendiri. Kedua, menciptakan resiko bahaya yang lebih besar yang melanggar peraturan[14]. Dengan adanya regulasi mengenai penggunaan drugs diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari drugs, baik dampak-dampaknya pada kesehatan masyarakat seperti kematian dini, mengurangnya daya tahan tubuh, maupun dampak sosialnya seperti kekerasan, vandalisme, kerusakan pernikahan, penelantaran anak, dan kegagalan dalam pendidikan dan pekerjaan[15].

Renairman (2000) memiliki analisa tersendiri mengapa muncul fenomena regulasi dan kriminalisasi atas perilaku penggunaan drugs. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya regulasi mengenai penggunaan drugs[16], yaitu (1) terdapat satu kenyataan yang menjelskan baik atau buruknya drugs secara mendasar (kenel of truth), (2) pengaruh media (media magnification), (3) konstruksi moral melalui politik (politico-moral enterpreanur), (4) perhatian kelompok profesional (professional interest group), (5) konteks sejarah, (6) merelasikan antara penggunaan drugs dengan kelompok berbahaya, dan (7) mengkambinghitamkan penggunaan drugs sebagai sumber dari masalah sosial.

Fenomena Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan satu dari sekian banyak permasalahan sosial di Indonesia. Penyalahgunaan nerkotika di Indonesia dilakukan oleh hampir seluruh lapisan dan kelompok masyarakat, dari mulai kelompok pekerja, pelajar, mahasiswa, bahkan rumah tangga. Survei nasional yang dilakukan BNN pada tahun 2003 mengenai penyalahgunaan narkotika dikalangan pekerja baik disektor formal maupun informal, menunjukan bahwa sebanyak 14 dari 100 responden pernah menyalahgunakan Narkoba, terutama ganja[17]. Penyalahgunaan narkotika jua banyak terjadi dikalangan penghuni kos. Sebanyak 264 atau 2,4% dari responden di rumah tangga dan 393 orang atau 13,1% dari responden di rumah kos mengaku penyalahguna narkoba[18].

Penyalahgunaan narkotika dikalangan pelajar (SLTP dan SLTA) memiliki jumlah yang juga besar. Penelitian BNN tahun 2003 menjelaskan bahwa jumlah penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar, Dari 13.710 responden di 26 ibukota provinsi dalam setahun terakhir yang menggunakan narkoba adalah 3,9% atau dengan kata lain 4 dari 100 responden adalah penyalahguna narkoba. Jika mengacu pada kategori pernah menyalah-gunakan narkoba terdapat 5,8% responden pernah menyalahgunakan narkoba, atau dengan kata lain 6 dari 100 responden pernah menyalahgunakan narkoba[19]. Kemudian pada tahun 2006, Di antara 100 pelajar dan mahasiswa rata-rata 8 pernah pakai dan 5 dalam setahun terakhir pakai narkoba. Penyalah-gunaan sudah terjadi di SLTP. Di antara 100 pelajar SLTP, rata-rata 4 dalam setahun terakhir pakai Narkoba[20]. Penyalahgunaan narkotika banyak dilakukan oleh kalangan anak di bawah umur. Empat di antara 10 pelajar / mahasiswa penyalah-guna mulai memakai Narkoba saat umur 11 tahun atau lebih muda[21]

Data statistik BNN tahun 2005, diketahui bahwa pengguna narkoba (drugs) di Indonesia mencapai 3,2 juta jiwa atau sekitar 1,5 % dari seluruh jumlah penduduk[22]. Data tersebut terdiri atas 69% kelompok teratur pakai, dan 31% lainnya merupakan kelompok pecandu dengan proporsi pria sebesar 79% dan perempuan 21%[23]. Dari jumlah ini, jumlah penyalahguna teratur-pakai 69% dan pecandu 31%. Kedua kelompok ini mempunyai pola yang hampir sama dalam hal jenis narkoba yang dipakai, kecuali pemakai heroin (putaw) masuk kelompok pecandu. Sedangkan mereka yang pernah memakai narkoba ada sebanyak 13 juta orang atau setara dengan 6% dari jumlah penduduk Indonesia[24]. Separuh dari kelompok pecandu (56%) atau sekitar 572 ribu orang merupakan penyalahguna narkoba suntik. Jumlah penyalahguna narkoba suntik yang terinfeksi hepatitis B diperkirakan sekitar 400 ribu orang, hepatitis C sekitar 458 ribu orang, dan yang mengidap HIV/AIDS (229 ribu orang)[25].

Narkotika dan dampaknya

BNN mencatat kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan drugs akibat penyalahgunaan narkotika adalah sebesar Rp.23,6 triliyun sedangkan biaya ekonomi terbesar adalah untuk pembelian/konsumsi narkoba sebesar Rp11,3 triliun[26]. Diketahui pula bahwa angka kematian pecandu narkotika mencapai 1,5% per tahun atau 15.000 orang meninggal dalam setahun, sehingga kejahatan narkoba tidak akan pernah berhenti untuk melakukan aktivitasnya[27]. ), jumlah kematian di kalangan pecandu narkoba di Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan 15 ribu orang[28].

Narkotika juga dianggap sebagai faktor penyebab tingginya kejahatan. Penelitian BNN tahun 2004 menjelaskan bahwa Pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba. Persentase yang pernah mencuri barang milik keluarga sekitar 16% pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada pecandu; yang pernah mencuri barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok teratur pakai dan 13% pada pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas, atau menodong sekitar 4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu[29]. Disamping itu, peredaran gelap narkotika merupakan bentuk dari kejahatan tersendiri. sejak tahun 2003. Jumlah tersangka kasus Narkoba meningkat setiaptahun, dari sekitar 5.000 tersangka pada tahun 2001 menjadi 32.000 tersangka pada tahun 2006. Dalam kurun waktu 2001-2006 jumlah tersangka kasus mencapai sekitar 85.000 orang[30].

Rata-rata biaya konsumsi narkoba per penyalahguna per tahun meningkat dengan semakin tingginya intensitas pemakaian, yaitu sekitar Rp 1,4 juta pada kelompok teratur-pakai dan Rp 7,8 juta pada pecandu[31]. Rata-rata biaya kerugian karena produktivitas yang hilang karena rawat inap, dipenjara, dan tidak masuk sekolah/ kerja per penyalahguna per tahun lebih banyak pada pecandu (Rp 7 juta) dibanding kelompok teratur pakai (Rp 5,8 juta)[32]. Rata-rata biaya kerugian karena tindak kriminalitas per penyalahguna per tahun adalah Rp 3,7 juta pada kelompok teratur-pakai dan Rp 15,2 juta pada pecandu[33] Jumlah penyalahguna narkoba suntik yang terinfeksi hepatitis B diperkirakan sekitar 400 ribu orang, hepatitis C sekitar 458 ribu orang, dan yang mengidap HIV/AIDS (229 ribu orang)[34].

Konstruksi kepanikan moral dan upaya solutif

Yang kemudian perlu kita cermati adalah tepatkah kriminalisasi atau legalisasi penggunaan drugs ini diterapkan di Indonesia. Data diatas menunjukan bahwa penggunaan drugs dalam konteks ke-Indonesia-an merupakan persoalan dan memiliki dampak kerugian yang nyata, baik kerugian kepada kesehatan pengguna hingga kerugian ekonomis. Adalah benar bahwa persoalan penggunaan drugs di Indonesia merupakan hasil dari konstruksi sehingga menimbulkan kepanikan moral tersendiri terhadap perilaku tersebut. Berangkat dari berbagai dampak penggunaan drugs inilah, “rule creator” dan “moral enterpreanur” melakukan konstruksi penyalahgunaan drugs sebagai hal yang dianggap jahat. Regulasi yang dilakukan oleh kelompok dominan tersebut merupakan upaya solutif dari ekses buruk dari penyalahgunaan drugs di Indonesia.

Keadilan Regulasi

BNN dalam salah satu kesimpulan penelitiannya terkait dengan penyalahgunaan narkotika tahun 2004 menjelaskan bahwa studi ini telah menunjukkan betapa dahsyat dan mendesak permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Penyalahgunaan narkoba merusak fisik, mental dan sosial penyalahguna yang sebagian besar merupakan penduduk usia remaja[35]. Sebagaimana yang dijelaskan Reinarman, drugs seringkali dikambinghitamkan sebagai sumber segala permasalahan sosial. Saya sepakat dengan adanya regulasi mengenai penggunaan drugs guna mencegah adanya efek-efek buruk dari hal tersebut. Namun menilai bahwa drugs merupakan sumber dari kejahatan-kejahatan lain seperti kekerasan, penelantaran anak, kemiskinan, dan lain-lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Husak merupakan sikap yang juga tidak bijaksana. Hal ini mendorong kita menafikan kontribusi faktor sosial-ekonomi-politik lainnya terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Sehingga solusi atas persoalan drugs, selain merumuskan kebijakan-kebijakan jangka pendek dan upaya pengawasan terhadap penyalahgunaan drugs seperti UU no 22 tahun 1997, diperlukan pula upaya yang lebih berwaswasan sosiologis dan jangka panjang.

Referensi

Buku

Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press.

Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana

Rush, James. 1990. Opium to Java: Jawa dalam cengkraman bandar-bandar opium. CV Adipura.

Jurnal

Goode, Erick. 1994. Moral Panic: Culture, Politic, and Social Construction. Jstor

Thombs, Dennis L. 2000. Introduction to Addictive Behavior. Guilford Press

Husak, Douglas dan Marneffe, Peter De. 2005. The Legalization of Drugs. Cambridge University Press

Reinarman, Craig. 2000. The Social Construction of Drug Sares. Belmon Wadsworth.

Internet

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTIwNTA 24 Oktober 2008 pukul 10.37

http://www.kapanlagi.com/h/0000109248.html 24 Oktober 2008 pukul 10.39

Hasil Survey Nasional Penyalahguanaan Dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar Dan Mahasiswa Di 33 Propinsi Di Indonesia Tahun 2006 diambil dari www.bnn.go.id

Kumpulan hasil-hasil Penelitian penyalahgunaan Dan peredaran gelap narkoba Di indonesia tahun 2003—2006 diterbitkan oleh Puslitbang & info lakhar bnn MEI 2007 diambil dari http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a

.



[1] Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press. Hal 17.

[2] Bentuk kriminalisasi penggunaan drugs di Indonesia tercermin dalam UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, dijelaskan bahwa bahwa narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanda pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Sementara pada poin selanjutnya (D) disebutkan pula bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi,menanam menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. dikutip dari http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/13/prn,20040413-05,id.html tanggal 24 Oktober 2008 pukul 10.24

[3] Bleich (1997) dalam Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 176

[4] Istilah Ritzer dalam menjelaskan bahwa kultur merupakan produk yang dipaksakan atau diciptakan hadir. Dikutip dari Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180.

[5] Jay, 1973 dalam Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180

[6] D. Cook, 1996 Ritzer, george dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Hal 180

[7] Dikutip dari Mustafa, Muhammad. 2007. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggar Hukum. FISIP UI Press. Hal 91.

[8] Goode, Erick. 1994. Moral Panic: Culture, Politic, and Social Construction. Hal 165

[9] ibid

[10] Thombs, Dennis L. Introduction to Addictive Behavior. Guilford Press. Hal 203

[11] Rush, James. 1990. Opium to Java: Jawa dalam cengkraman bandar-bandar opium. CV Adipura. Hal 58

[12] James Rush mengatakan bahwa sejal 1619 hingga 1799 VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke Jawa setiap tahunnya.

[13] Informasi di peroleh dari profesor Adrianus Meliala dalam kuliah kejahatan narkotika tanggal 1 September 2008 pukul 10.30

[14] Husak, Douglas dan Marneffe, Peter De. 2005. The Legalization of Drugs. Cambridge University Press. Hal 109

[15] Ibid.

[16] Reinarman, Craig. 2000. The Social Construction of Drug Sares. Belmon Wadsworth. Hal 151

[17] Data meruakan hasil dari Penelitian Peredaran Gelap Narkoba tahun 2003. Penelitian dilakukan BNN di 15 provonsi di Indonesia dengan melibatkan 8000 responden pekerja. Diperoleh dari Kumpulan hasil Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003—2006. diakses di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a tanggal 27 November 2008 pukul 9.37 wib.

[18] Ibid

[19] ibid

[20] Hasil Survey Nasional Penyalahguanaan Dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar Dan Mahasiswa Di 33 Propinsi Di Indonesia Tahun 2006. dikutip di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a. tanggal 27 November 2008 pukul 9.40

[21] ibid

[22] Informasi diakses di http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTIwNTA= 24 Oktober 2008 pukul 10.37

[23] Informasi dari ketua BNN Brigjen Pol dr Eddy Saparwoko. Informasi diakses di http://www.kapanlagi.com/h/0000109248.html 24 Oktober 2008 pukul 10.39

[24] Diperoleh dari Kumpulan hasil Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003—2006. diakses di http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_penelitian&id=16&mn=5&smn=a tanggal 27 November 2008 pukul 9.37 wib.

[25] Ibid

[26] Ibid

[27] Ibid

[28] Ibid

[29] Ibid

[30] Ibid

[31] Ibid

[32] ibid

[33] Ibid

[34] Ibid

[35] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar