Minggu, 28 Desember 2008

Di Balik Pemberitaan Aliran Sesat

Di Balik Pemberitaan Aliran Sesat

Bhakti Eko Nugroho,

mahasiswa Kriminologi angkatan 2006

Setidaknya sejak sepekan yang lalu, media massa Indonesia, baik cetak maupun elektronik menempatkan kemunculan aliran-aliran sesat sebagai laporan utama. Kemunculan paham Islam yang mereka sebut dengan Al Qiyadah Al Islamiyah merupakan fenomena menarik yang menjadi perhatian penulis untuk mengakangkatnya sebagai sebuah telaah kasus dalam mata kuliah media massa dan kejahatan. Koran Rakyat Merdeka edisi Minggu, 4 November 2007 menempatkan tema ini sebagai headline. Koran tersebut memberikan pemberitaan mengenai fenomena kemunculan aliran-aliran sesat dengan judul; Aliran Sesat Marak Kerjaan 3 Intel Asing. Selain itu, koran Rakyat Merdeka juga memberitakan analisis MUI mengenai meraknya kemunculan aliran sesat ini.

Pemberitaan media yang ada berkisar mengenai perbedaan-perbedaan paham ini dengan paham yang telah menjadi pakem sehingga menjadikan aliran ini dianggap sesat, siapa sosok Ahmad Mussadek –seorang yang menggagas paham ini dan dianggap utusan Allah oleh para pengikutnya, bagaimana perkembangannya di Indonesia, dan pemberitaan seputar itu. Beberapa pemberitaan media juga mengaitkannya dengan beberapa fenomena kemunculan paham Islam baru beberapa waktu lalu semisal paham Ahmadiyah, jami’ah Islamiyah, dan “Lia Aminudin”. Hal ini juga mungkin dipengaruhi oleh fatwa yang baru saja dikeluarkan oleh MUI tentang aliran sesat. MUI menyatakan enam paham baru Islam sebagai paham yang sesat, selain tiga yang telah disebut diatas diantaranya adalah paham Al Quran Suci dan paham Mahesa Kurung.

Koran Rakyat Merdeka membawakan berita ini dengan gaya yang konspiratif. Koran ini mengutip pernyataan mantan kepala BAKIN, AC Manullang bahwa aliran sesat yang marak di Indonesia akhir-akhir ini merupakan rekayasa tiga badan intelijen asing, yaitu CIA (Amerika), Mossad (Israel), dan ASIO (Australia). Menurut Manullang dalam koran ini, tiga badan intelijen selain memberikan sokongan dana juga melakukan operasi praktis dan melancarkan kepentingan tertentu. Dalam kolom lainnya, koran ini menyebutkan pula analisis MUI mengenai fenomena kemunculan aliran sesat ini. Ichwan Sam, Sekretaris MUI mengatakan bahwa fenomena kemunculan aliran sesat ini merupakan sebuah agenda dari kepentingan tertentu untuk merusak stabilitas nasional prapemilu 2009.

Upaya “verstehen”

Verstehen merupakan istilah Webber yang memiliki makna singkat mengenal dan memahami lebih jauh suatu fenomena. Upaya verstehen ini coba penulis lakukan untuk mengenal dan memahami lebih jauh bukan pada apa yang menyebabkan maraknya kemunculan paham-paham baru tersebut, namun upaya verstehen penulis ditujukan penekanannya terhadap; kenapa media massa marak memberitakan paham-paham baru ini. Setidaknya penulis mengajukan beberapa asumsi; pertama, hal ini merupakan kodrat media dalam sistem media yang kapitalistik, kedua hal ini merupakan bentuk konstruksi media massa terhadap citra ajaran Islam, dan ketiga pemberitaan media ini merupakan agenda untuk melumpuhkan kapasitas gerakan dakwah Islam yang akhir-akhir ini tengah mekar bermunculan.

Kodrat media massa dalam sistem yang kapitalistik adalah mengupayakan agar materi dan isi pemberitaan dapat menjadi bagian dalam maksimalisasi perolehan profit. Wacana aliran sesat merupakan issu yang sangat sensitif sekaligus sebuah tema yang menarik untuk dijual kepada masyarakat. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih kental memegang teguh paham keislaman konservativ akan sangat sensitif mendengar dan menyaksikan suatu fenomena yang mengusik nilai dan patok yang ada. Sensitivitas masyarakat inilah yang pada akhirnya dijadikan celah oleh media untuk meraih keuntungan dari pemberitaan terhadap fenomena ini. Koran rakyat merdeka dan media massa lainnya terkesan memelihara issu paham sesat menjadi sebuah issu yang berlanjut, bukan karena untuk mengeksplor dan memberikan kedalaman informasi yang lebih kepada masyarakat, melainkan dari pemberitaan inilah, media massa yang berdiri diatas sistem kapitalistik dapat memperoleh income.

Kedua, penulis menganggap bahwa apa yang dilakukan media dalam pemberitaan paham sesat ini merupakan suatu bentuk peyoratif terhadap citra dan nilai ajaran Islam. Dengan potensi media yang memiliki peluang besar untuk mengkonstruk berbagai pemahaman dan ide, media massa yang melakukan pemberitaan terhadap paham sesat ini mengkosntruksi ajaran dan sistem Islam menjadi sekedar ajaran yang berkutat bukan terhadap permasalahan esensi melainkan sebuah ajaran yang sebatas sibuk melakukan persebatan yang bersifat rituil.

Ajaran Islam seharusnya merupakan sebuah ajaran yang sistemis. Mengacu pada interpret Islam oleh Hasan Albanna yang mengartikan Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan ummat, kekuatan, kasih sayang, dan keadilan, peradaban dan undang-undang,materi dan sumber daya alam,penghasilan dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih (Albanna, pada Al Wasli, 2001).

Pandangan Albanna hampir serupa dengan testimonial Ashgar Eli Engineer dalam buku Islam Melawan Kapitalisme. Ia mengatakan jika hanya sebagai ‘agama”, Islam niscaya akan dengan mudah diterima oleh masyarakat Arab....tetapi kehadiran Islam adalah revolusioner, sebab ia menolak sistem ekonomi, sosial, dan politik dengan segala implikasi moralnya yang telah membusuk dizamannya (Engineer pada Baidhawy, 2007). Implisitas dari pernyataan Engineer ini menyebutkan bahwa Islam tidak hanya sebagai agama yang hanya disibukan oleh hal-hal yang privat dan interaksi antara Tuhan dan hambanya, tetapi Islam merupakan ajaran yang selain memberikan rambu-rambu tentang hubungan antara Tuhan dengan hamba, Islam juga hidup dalam kehidupan. Islam merupakan terjemahan dan referensi utama yang seharusnya dapat menggugat dan membela kepentingan masyarakat umum yang marginal.

Sebagai upaya memperjelas, Islam hidup dalam masyarakat melalui anjuran zakat yang tertera dalam Al Quran surat taubah ayat 60 sebagai upaya mereduksi ketimpangan antara kelompok sosial yang ada. Serta sebagai bentuk dari solidaritas sosial. Ajaran Islam juga menganjurkan ummatnya untuk membela kelompok marginal, yang dalam bahasa Islam di sebut kaum mustad’affin. Surat Anfal ayat 26 menegaskan “dan ingatlah ketika kamu masih minoritas lagi tertindas di bumi, dan kamu takut orang-orang akan menculik kamu, maka dia memberi kamu tempat menetap di dan dijadikannya kamu kuat dengan pertolongan-Nya, dan diberinya kamu rezeki yang baik agar kamu bersyukur”. Ayat 26 surat Anfal memberikan gambaran kepada kita dan anjuran terhadap penganut Islam untuk memberikan perhatian yang serius terhadap kelompok mustad’afin yang marginal, tertindas, dan minoritas. Kelompok mustad’afin ini, adalah merekayang faqir, miskin, Amil, muallaf, fil alriqob, Gharim, Fii sabilillah, Ibnu sabil, Sail, dan yatim.

Gambaran singkat diatas merupakan sebuah upaya pemaparan bahwa pada dasarnya Islam hidup dalam dinamika dan segenap permasalahan manusia. Ajarnnya merupakan sebuah referensi cara menciptakan suatu keadilan yang adil. Namun media massa dalam penayangan berita aliran sesat ini mengkonstruksi citra Islam sebagai ajaran yang seolah hanya disibukan dengan penyelesaian konflik yang bersifat sebagaimana kasus-kasus semacam. Dalam lain kata media menampilkan hanya sebagian kecil dari nilai Islam, bahkan pemberitaan paham sesat itu sendiri lebih cenderung mencitrakan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang pecah dan insolidaritas. Belum lagi beberapa tema lain seperti terorisme, perbedaan hari raya, dan tema lainnya yang tampak merugikan citra Islam dan masyarakat Islam.

Intensitas yang tinggi media penayangan pemberitaan aliran sesat di Indonesia oleh media massa memiliki konsekwensi logis pada perspektif masyarakat pada seiusitas hal ini. Karena keresahan masyarakat akibat pemberitaan media inilah, MUI mengeluarkan fatwa kepada enam paham baru di Indonesia sebagai paham yang sesat. Yang menjadi perhatian saya, media massa dan pemberitaan tidak menampilkan wajah pertentangan Islam terhadap setiap bentuk ketidakadilan. Pemberitaan tersebut menampilkan nilai Islam yang membela kepentingan kelompok marginal dan tertindas. Karena inilah, sampai saat ini, MUI belum pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap perilaku korupsi dan bentuk kejahatan “kerah putih” lainnya yang dampak merugikan masyarakat Islam-nya sama besar atau bahkan lebih. Kiranya benar terhadap apa yang diungkapkan Soroush, bahwa salah satu penyakit teoritisi Islam pada umumnya, adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas daripada kebenaran. Secara singkat, pemberitaan secara gencar paham Islam baru di Indonesia memiliki hidden agenda dalam upaya konstruksional terhadap citra Islam dan masyarakat Islam.

Ketiga, gencarnya pemberitaan paham baru ini merupakan upaya “pembusukan” terhadap aktivitas Islam yang beberapa dekade terakhir tengah berkembang. Penulis mencermati kehadiran pemikiran Islam transnasional dan kini tengah berkembang serta mulai diterima oleh masyarakat Islam Indonesia terutama dari kelompok pemuda. Pemikiran-pemikiran Al-banna (Mesir), Taqqiyuddin (Yordania), Abdul Wahhab (Arab Saudi), dan lain-lainnya mewarnai dunia gagasan anak-anak muda Islam Indonesia dan teraplikasikan dalam bentuk-bentuk gerakan amal mereka. Gerakan amal mereka pada dasarnya bukanlah gerakan yang menyimpang dan berbeda substansi dan ajarannya. Mereka murni gerakan amal yang hanya saja banyak mengadopsi pemikir-pemikir dari luar Indonesia, sehingga terkadang banyak hal-hal yang dianggap tidak “sama” dengan pemikiran Islam yang berkembang dari rahim kultur Indonesia.

Pemberitaan maraknya aliran sesat di tengah masyarakat Indonesia yang relatif masih kuat dalam memegang teguh nilai-nilai mereka menjadikan masyarakat Islam saling curiga satu sama lainnya. Media massa menciptakan fear of crime, ketakutan yang berlebih terhadap hal-hal yang dianggap baru. Gerakan-gerakan amal dan dakwah yang berawal dari mengadopsi pemikiran ulama luar Indonesia, yang pada dasarnya mereka bukan paham yang menyimpang, harus berhadapan dengan cara pandang masyarakat Indonesia yang kini serba hati-hati dalam menghadapi fenomena yang dinggap baru lantaran wacana media massa yang mengharuskan masyarakat Islam selalu waspada. Wal hasil, amal-amal ikhlas dan tulus anak-anak muda Islam yang mengadopsi pemikiran Islam “nontradisional” di lingkungan masyarakat, kampus, dan sekolah harus mendapatkan implikasi buruk. Masyarakat yang hanya menerima informasi sebatas dari pemberitaan media massa, bisa jadi dapat turut secara serampangan mengatakan bahwa paham ini adalah sesat.

Referensi

- Rakyat Indonesia edisi Minggu 4 November 2007

- Alwasyli, Abdullah bin Qasim.2005. Menyelami Samudra 20 Pemikiran Hasan Albanna, Eraintermedia, Solo

- Prasetyo, Eko. 2005. Islam Agama Perlawanan, Resist Book, Yogyakarta

- Baidhawy, Zakiyudin. 2007. Islam Melawan Kapitalisme, Resist Book, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar