Minggu, 28 Desember 2008

Me-romantisasi-kan Gerakan mahasiswa (kita)[1]

Bhakti Eko Nugroho[2]

Pada kami timbul keragu-raguan yang besar

Apakah masih ada gunanya belajar,

berdiskusi, dan lain-lain, sedang rakyat kelaparan dimana-mana

Padanya terdapat rangsangan yang kuat untuk bertindak, ‘to take action’[3]

Soe Hok Gie

Keresahan merupakan syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh siapapun yang terlibat dalam gerakan mahasiswa, dahulu atau saat ini. Keresahan pulalah yang memantik gerakan besar mahasiswa tahun 1966, dimana Soe Hok Gie mengambil peran dalam gerakan fenomenal yang berhasil menumbangkan rezim Sukarno (1945-1966) tersebut. Keresahan disini bukanlah ilham atau wahyu yang datang dari goa. Ia merupakan konsekuensi dari proses panjang belajar, membaca, dan berdiskusi sebagai satu bentuk dari pergulatan pencarian pengetahuan. Singkatnya, keresahan merupakan konsekuensi dari intelektualitas. Banyak benarnya dari apa yang dikatakah bung Hatta, bahwa seorang intelektual pastilah orang yang selalu resah, karena ia saksikan kebenaran yang didapati dari teks-teks buku dan ceramah di ruang ilmu ternyata direndahkan diruang hidup yang sebenarnya. Kejujuran, keadilan, cinta mesti ditundukan oleh kuasa dan kesewenangan. Jadilah mayoritas rakyat semakin dipinggirkan dan miskin, sementara minoritas penguasa yang borjuistik terus menerus mengambil keuntungan dari situasi ini. Soe Hok Gie ketika masih berusia remaja, merekam situasi ini dalam catatan hariannya:

Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan.....

Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan isteri-isterinya yang cantik....

Dan rakyat makin lama makin menderita. Aku besertamu orang-orang malang[4].

Pada akhirnya keresahan-keresahan yang bersembunyi dalam setiap jiwa intelektual waktu itu menemukan jodohnya, yaitu momentum. Pemerintahan Soekarno yang lebih terfokus pada wacana revolusioner ternyata menyisakan persoalan ekonomi. Wacana revolusioner pemerintah seakan hal yang begitu utopis, dan rakyat menghadapi persoalan nyata: semakin sulit memperoleh barang-barang dasar karena naiknya harga-harga, dari mulai bahan pokok hingga tarif angkutan. Krisis ekonomi kemudian menciptakan kepanikan dan ketakutan rakyat. Saat itulah, pertautan antara intelektualitas dan realitas bertemu. Soe Hok Gie mengatakan bahwa harus ada balance antara tantangan-tantangan intelektualisme dan kemesraan emosional[5]. Sehingga saat itupulalah dituntut lahirnya keputusan yang cepat dan tepat dari kelompok intelektual ini untuk terlibat atau tidak dalam peristiwa sejarah yang tengah berlangsung itu. Soe Hok Gie-lah, yang kemudian mengambil alih jalan cerita dan menjadi sutradara perjuangan intelektual mahasiswa untuk terlibat saat itu. Dalam catatan hariannya ia katakan:

Aku adalah ‘arsitek’ dalam longmarch ini. Tujuanku sebenarnya tidak banyak. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari betapa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya[6].

Soe Hok Gie dan angkatan 66 sangat cermat membaca persoalan yang ada dan mampu membahasakannya secara sederhana. Mereka berhasil mentransformasikan keresahan individu menjadi suatu keresahan massa. Saat inilah gerakan itu tengah dibangun, melalui slogan-slogan, membangun wacana umum dengan menduduki pompa-pompa bensin, memboikot angkutan kota, hingga rebahan di rel kereta api. Slogan-slogan mereka mudah dicerna dan dalam: Dekat Jauh Dua Ratus (bukan seribu), Turunkan Harga Bensin, DPR Banci, Ritul Menteri-menteri goblok, dll[7]. Gerakan pun kian membesar dan tiap gerakan yang dilakukan selalu diikuti oleh banyak mahasiswa. Yang paling penting, gerakan ini didukung oleh rakyat, dari mulai tumpangan hingga air dan makanan diberikan rakyat kepada mahasiswa. Prof. Nugroho Notosusanto yang pada saat itu menjabat sebagai asisten dekan mengatakan bahwa jika perlu UI di liburkan selama setahun agar mahasiswa bisa terlibat penuh dalam pergolakan ini. Bung Tomo sendiri sempat mengirim surat kepada mahasiswa saat itu dan mengatakan ia siap di tembak bersama mahasiswa[8].

Romantika mereka

Dan mahasiswa-mahasiswa yang kecapaian akhirnya pada pulang. Kantong kosong, badan lelah, dan bau keringat, muka hitam dan dekil. Tetapi mereka tetap semangat. Tomorrow is another day, the day struggle for a better life (soe hok gie)

Romantisasi merupakan hal kunci yang turut meledakan gerakan saat itu, disamping adanya momentum. Romantisasi saya artikan sebagai proses pemaknaan lebih mendalam atas setiap tindakan yang dilakukan. Langkah kaki, teriakan, nyanyian, dan ancaman peluru mereka maknai sebagai proses belajar yang sesungguhnya, yaitu perwujudan diri menjadi mahasiswa dan intelektual yang mampu memberikan sesuatu kepada rakyat bangsanya. Mereka menikmati perjuangan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, menyenangkan dan untuk dikenang. Mereka temukan hal-hal yang mengharukan disela-sela letih mereka. Soe Hok Gie sendiri menuliskan keharuannya pada mahasiswa yang tetap terlibat dalam unjuk rasa mesti mereka tengah berpuasa:

Waktu itu adalah bulan puasa. Betapa mengharukannya. Mereka bersujud padaNya ditengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah tuhan, dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat[9].

Disinipulalah mistifikasi terjadi, bahwa mereka yang terlibat dalam pergolakan dan perjuangan ini tengah melakukan hal yang suci, terhormat, dan heroik. Mereka yang datang dan terlibat dalam gerakan seolah manusia-manusia suci yang memperjuangkan kesucian dan siap mati secara suci pula untuk ibu-pertiwinya. Romantisasi inilah yang turut menjadikan gerakan 66 tetap menjadi romantika dan inspirasi hingga saat ini.

Me-romantisasi-kan gerakan kita

Tidak ada alasan untuk tidak memiliki keresahan hari ini. Jika dulu angkatan 66 menemukan pemakan kulit, hari inipun keadaan tak banyak berbeda. Lumpur Lapindo yang akan menenggelamkan Jawa, mahalnya biaya pendidikan, semakin terbatasnya akses ke Perguruan Tinggi bagi mereka yang miskin, semakin banyaknya penganggur, dan lain-lain, sudah lebih dari cukup untuk mewajibkan keresahan hadir di setiap kita. Dan saya yakin setiap kita yang membaca ini telah memiliki keresahan ini. Kita hanya kalah romantis dengan angkatan 66 dan sebelumnya. Kita lebih senang mencaci dan meratapi jumlah kita yang sedikit dalam setiap unjuk rasa, teriakan yang tak pernah didengar, dan orasi yang membosankan, ketimbang memaknai lebih dalam tentang ‘kesucian’ yang kita tengah lakukan. Kini kita perlu lebih puitis dan lebih pandai menyemangati setiap kita. Karena dari sinilah muncul heroisme. Dari romantisasi ini pula, intelektualitas kita tidak sekedar angka-angka yang berbaris dalam transkip nilai, melainkan sumbangsih yang akan menyeka air mata rakyat bangsa negeri ini. Seperti kata Soe Hok Gie, biarkanlah rakyat tahu bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri dibawah pimpinan patriot-patriot universitas[10].



[1] Ditulis sebagai bahan diskusi tokoh dan pemutaran film dokumenter Soe Hok Gie yang diselenggarakan oleh Dept. Kajian Strategis BEM FISIP UI tanggal 1 Desember 2008, di seminar room MBRC lt 2.

[2] Mahasiswa Kriminologi FISIP UI angkatan 2006, aktivis BEM FISIP UI

[3] Catatan Harian Soe Hok Gie, 16 Maret 1964

[4] Ibid, 10 Desember 1959

[5] Ibid, 17 Agustus 1969

[6] Ibid.

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Ibid

[10]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar