Minggu, 28 Desember 2008

Hizbut Tahrir melawan Kapitalisme Global


Pendahuluan

Hizbut Tahrir merupakan gerakan Islam transnasional yang didirikan syaikh Taqiyudin An Nabhani dan dideklasrasikan tahun 1953 di Yerusalem. Hingga saat ini pengaruh Hizbut Tahrir telah mencapai lebih dari 40 negara dengan puluhan juta pengikut di wilayah Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Ide dan gagasan yang dibawa Hizbut Tahrir mulai tumbuh di Indonesia pada periode 1980-an. Ideolog Hizbut Tahriri yang menyebarkan gagasannya di Indonesia di bawa oleh Abdurrahman Al Baghdadi dan Mustafa bin Abdullah bin Nuh, seorang berkewarganegaraan Libanon. Merekalah yang mengkader generasi awal kelompok Hizbut Tahrir di Indonesia. Hingga pada tahun 2000, melalui Konferensi Khilafah Internasional, secara resmi berdirilah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Yang kemudian akan diulas lebih jauh dalam makalah ini adalah menjelaskan lebih jauh fenomena gerakan Hizbut Tahrir yang pada akhirnya mampu mentransnasionalisasikan gerakannya dan berkontestasi dalam kancah global.

I.1 Kelahiran Hizbut Tahrir

Secara bahasa, Hizbut Tahir artinya partai pembebasan. Partai ini didirikan pada 1952 di Palestina oleh Syaikh Taqiyuddin Nabhani[1]. Pada mulanya, Taqiyuddin sempat bersinggungan dan terlibat dalam gerakan Ikhwanul Muslimin di Yordania. Tetapi tidak beberapa lama kemudian ia mendirikan Hizbut Tahrir dan dinyatakannya sebagai partai independen, baik dalam pendiriannya atau pandangan-pandangannya[2]. Disamping Syaikh Taqiyuddin Nabhani, ideolog-ideolog lain yang juga penting dalam membesarkan gerakan Hizbut Tahrir antara lain adalah Nabhani Hizib, Abdul Qadim Zallum, Ali Fakhruddin, Mustafa Salih, dan Mansyur Haidar. Ketiga nama yang disebut belakangan merupakan tokoh yang menggagas pendirian Hizbut Tahrir di Libanon.

Maksud dari terminologi pembebasan (at tharir) yang melekat pada nama gerakan ini erat kaitannya dengan kehadiran gerakan ini, yaitu membebaskan harga diri dan kekayaan ummat Islam dari cengkraman kolonialisme asing (barat). Penulis berpendapat terdapat dua faktor kontekstual yang melatai pendirian Hizbut Tahrir, yaitu kejatuhan Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924 dan Jatuhnya Palestina ketangan Israel pada tahun 1948. Ismail Yusanto[3] mengatakan bahwa semenjak itu, dunia Islam yang sebelumnya membentang sangat luas tercabik-cabik dan sebagiannya kemudian dikuasai oleh kafir penjajah[4]. Jatuhya Palestina ketangan Israel pada tahun 1948 merupakan faktor kontekstual kedua yang melatari pendirian partai ini, dan pembebasan Palestina merupakan upaya terdekat yang mesti dilakukan. Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun ini kemudian memberikan keyakinan kepada Taqiyuddin, bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam[5]. Hizbut Tahrir kemudian dikenal dengan partai yang gerakannya berpijak diatas keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah.

Ciri utama Hizbut Tahrir adalah konsentrasinya yang sangat besar kepada aspek keilmuan (tsaqofah) dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi Muslim dan Ummat Islam[6]. Disamping itu, Hizbut Tahrir mencoba memberi perhatian yang sama pada aktivita-aktivitas politis, sehingga dua aktivitas pokok Hizbut Tahrir adalah aktivitas keilmuan (tsaqofy) dan aktivitas politik (siyasy). Aktivitas keilmuan Hizbut Tahrir dilakukan dengan cara pendidikan secara umum dan masif (tabligh). Oleh sebab itu yang kemudian yang menjadi ciri aktivitas Hizbut Tahrir adalah adalah tampil di tengah masyarakat melalui aktivitas-aktivitas dialogis, diskusi, seminar, dan sebagainya dalam rangka menyebarkan gagasan-gagasan ideologis Hizbut Tahrir. Sementara bentuk-bentuk aktivitas politik Hizbut Tahrir dilakukan melalui merekam dan menginventarisasi segala kejadian dan peristiwa, kemudian dijadikannya pembicaraan yang mengacu kepada kebenaran dan hukum-hukum Islam dalam rangka meraih kepercayaan massa[7].

Gerakan Hizbut Tahrir pada awalnya terpusat di Yordania, Libanon dan Suriah. Kemudian mulai berkembang di banyak negara Islam[8].. Hingga saat ini pengaruh Hizbut Tahrir telah mencapai lebih dari 40 negara dengan puluhan juta pengikut di wilayah Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Hizbut Tahrir juga berkembang pesat di Eropa, terutama di Austria dan Jerman Barat[9]. Indonesia merupakan salah satu negara dimana pengaruh Hizbut Tahrir cukup terasa[10] dimana gagasan dan metodologi perjuangannya mengacu pada Ide-ide Hizbut Tahrir sebagaimana Ia berasal.

I.2 Sikap dan Posisi Hizbut Tahrir terhadap sistem ekonomi kapitalistik dan ide neoliberal

Makalah ini lebih jauh akan mengkaji bagaimana sikap Hizbut Tahrir terhadap kehidupan kontemporer yang berjalan diatas cara berpikir yang kapitalistik. Dalam melacak pokok dan sikap Hizbut Tahrir mestilah mengacu pada ideologi-ideologi Hizbut Tahrir yang dikembangkan oleh Syaikh Taqiyuddin. Pemikiran-pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang diulas dalam bagian ini merupakan hal fundamen yang melatari berbagai aktivitas Hizbut Tahrir Indonesia. Namun penulis tetap mencoba menguraikan pandangan-pandangan ‘lokal’ Hizbut Tahrir Indonesia terkait dengan sistem ekonomi kapitalistik dan neoliberal.

Dalam membaca sikap dan posisi Hizbut Tahrir terhadap sistem ekonomi kapitalistik dan ide neoliberal tidak dapat dipisahkan dalam melihat sikap dan posisi Hizbut Tahrir terhadap persoalan manusia pascaberakhirnya Khilafah Turki Utsmani. Dalam bahasa lain, ekonomi kapitalistik yang saat ini mendominasi kehidupan manusia mestilah dilihat sebagai bagian dari persoalan manusia yang lebih kompleks. Dari sinilah penulis berupaya menjelaskan ide pokok Hizbut Tahrir terkait dua hal, pertama tentang kehidupan masyarakat tanpa sistem khilafah dan kedua tentang sistem ekonomi kapitalistik.

I.3 Konsekuensi Masyarakat Tanpa Khilafah

Pascajatuhnya khilafah utsmani pada tahun 1924, Hizbut Tahrir menilai bahwa masyarakat hidup dibawah tekanan ketidakadilan. Implikasi sekaligus problem utama ketiadaan Khilafah Islamiyah adalah situasi imperialisme[11]. Abad 19 dan 20 awal, imperialisme telah mulai dilakukan secara telanjang. Negara-negara barat melakukan kolonialisasi tehadap berbagai negara dan kemudian mengambil kekayaan alamnya. Berakhirnya era kolonialisme tidak serta merta menunjukan akhir dari kehidupan imperialisme.

Pasca Perang Dunia Kedua (1945), imperialisme fisik (militer) berakhir. Dunia berharap bahwa setelah itu imperialisme tidak akan ada lagi. Tapi dunia harus kecewa karena ternyata imperialisme jalan terus. Ia hanya berubah wajah. Melalui dominasi politik-ekonomi dengan jargon modernisasi, imperialisme terus berlangsung khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang baru merdeka dari penjajahan Barat. Modernisasi yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan (development) ini , pada praktiknya hanya merupakan usaha negara-negara Barat untuk terus mengukuhkan dominasinya atas negara-negara bekas jajahan pasca Perang Dunia II itu. (Ismail Yusyanto)[12]

Imperialisme yang dibumbui dengan slogan modernisasi terus menerus menciptakan ruang ketidakadilan. Negara-negara dunia ketiga yang dijanjikan kemajuan, transfer teknologi, alih ilmu pengetahuan, dan lain-lain ternyata malah menghadapi kenyataan lain, yaitu menjdi negara yang semakin miskin. Akan tetapi negara-negara imperialis barat semakin kaya dengan kolonialisasi ekonomi yang terus menerus mereka lakukan. Kenyataan yang perlu kita cermati adalah soal seputar negara-negara industri yang jumlah penduduknya hanya 26 % dari penduduk dunia ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi, menguasai 81 % perdagangan dunia, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. Sementara 74 % penduduk di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dimasukkan ke dalam Dunia Ketiga tadi, hanya menikmati sisanya, yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia[13]. Kenyataan yang merupakan permasalahan masyarakat dunia ini, oleh Hizbut Tahrir dianggap sebagai imbas dari kegagalan umat Islam.

Dalam Mafahim Hizbut Tahrir[14], dijelaskan bahwa dunia Islam, sejak ejak pertengahan abad XII Hijriyah (ke-18 Masehi), menggelincir dari masa kejayaaannya dengan sangat cepat serta jatuh ke dalam jurang kemunduran dengan amat mengerikan[15]. Kegagalan masyarakat Islam adalah manakala mereka tidak mampu berkontestasi pasca kemundurannya, dan upaya-upaya yang mereka lakukan senantiasa menemukan kegagalan. Dalam kitab mafahim dijelaskan bahwa terdapat tiga hal yang merupakan penyebab kegagalan ini. Pertama, tidak adanya pemahaman yang mendalam mengenai fikrah Islamiyah di kalangan para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak adanya gambaran yang benar-benar jelas pada diri mereka mengenai metode Islam (thariqah Islam) dalam menerapkan fikrah-nya. Dan yang ketiga, mereka tidak menjalinkan fikrah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah sebagai satu hubungan yang solid yang tidak mungkin terpisahkan[16].

Ketiadaan tiga faktor ini merupakan penyebab sekaligus konsekuensi dari ketiadaan Khilafah Islamiyah. Hizbut Tahrir menilai bahwa kenyataan pemikiran[17] masyarakat Islam saat ini tidaklah murni bersumber dari ajaran yang seharusnya, Al Quran dan sunnah, melainkan telah tercampur dengan berbagai ide dan filsafat yang justru bertentangan dengan sumber ajaran Islam. Adapun yang dimaksud dengan persoalan pemikiran – faktor ketidakdalaman pemikiran terhadap Islam – menyebabkan berbagai penetrasi yang merusak pemikiran masyarakat Islam itu sendiri. Para syabab – istilah pengikut atau aktivis Hizbut Tahrir – mengatakan bahwa prosesi perusakan pemikiran masyarakat Islam menyebut kedalam istilah Ghazwul Fiqr. Faktor-faktor tersebut memberikan andil yang cukup besar terhadap kesalahan penggambaran kaum muslimin mengenai fikrah Islamiyah, sehingga lenyaplah kebeningan fikrah Islamiyah yang hakiki dalam benak kaum muslimin[18]. Para syabab kemudian menilai bahwa pemikiran masyarakat Islam terkotak-kotakan, parsial, dan mengabaikan komprehensivitas dari ajaranya. Terkait dengan urgensi pemikiran ini, An-Nabhani (1996) mengatakan bahwa:

Apabila kekayaan sebuah bangsa yang bersifat materi hancur, maka dengan segera akan bisa dipulihkan kembali, selama bangsa itu melestarikan kekayaan berpikir mereka. Namun apabila kekayaan berpikir mereka telah terabaikan, dan sebaliknya, mereka malah melestarikan kekayaan maetri, maka kekayaan itu pun akan segera sirna dan mereka akan kembali menjadi miskin (Taqyuddin An Nabhani: 1996)[19]

Thariqah, secara terminologi disebut juga dengan metodologi atau cara. Para syabab menilai ajaran Islam sebagai ajaran yang terpadu dan praktis, dimana ide Islam sebagaimana substansinya maupun cara melaksanakan substansi tersebut (metodologi/ thariqohnya) telah diturunkan secara beriringan. Dalam mafahim dijelaskan bahwa Umat Islam secara berangsur-angsur telah kehilangan gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah[20]. Hizbut Tahrir menilai metodologi menegakan ide Islam sama pentingnya dengan ide Islam itu sendiri, sehingga, keduanya pun mesti ditegakan secara beriringan.

.............Kaum muslimin sendiri, setelah kehilangan negara --termasuk kelemahan dan kelalaian dalam menegakkannya kembali-- mulai beranggapan bahwa kebangkitan Islam dapat diraih kembali dengan cara membangun masjid-masjid, menerbitkan buku-buku, tulisan atau karangan, serta memperbaiki akhlak. Sementara pada saat yang sama tetap berdiam diri terhadap kepemimpinan kufur dan penjajahannya atas mereka

kaum muslimin hanya memperhatikan hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan pemecahan problematika kehidupan yang menyangkut aspek fikrah saja. Mereka tidak lagi memperhatikan hukum-hukum yang menjelaskan cara praktis pemecahan problematika tersebut, yaitu hal-hal yang menjelaskan thariqah[21]

Pemisahan antara pemikiran atau ide (fikrah) dengan metodologi pelaksanaan ide tersebut (thariqah), tidak akan menjadikan ide Islam sebagai penawar dari setiap persoalan kehidupan yang menjangkit. Lebih tegas, para syabab menyebut pemisahan antara ide dengan metodologi sebagai kemustahilan perjuangan. Para syabab menyontohkan konsekuensi dari pemisahan ini salah satunya adalah situasi dimana Islam ditafsirkan tidak selaras dengan isi kandungan nash-nashnya, dengan tujuan agar dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada saat itu. Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan Islam, bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat[22] .


II.1 Hizbut Tahrir menilai kapitalisme

Bagian ini merupakan upaya penulis dalam menjelaskan bagaimana sikap dan posisi Hizbut Tahrir terhadap sistem ekonomi yang saat ini tengah meng-hegemonik, yaitu kapitalisme dan gagasan yang menyertainya: neoliberalisme. Respon Hizbut Tahrir terhadap situasi kapitalistik ini coba penulis ambil dari pandangan ideolog Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Taqyuddin Nabbhani. Harapannya, gagasan Taqyuddin terkait dengan kapitalisme dan neoliberal merupakan representasi dari sikap gerakan Hizbut Tahrir ini.

An Nabhani (1996) mengatakan bahwa persoalan paling berat yang telah memalingkan kaum muslimin, serta penyakit paling paling berat yang mereka derita dalam kehidupan mereka ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan pemerintahan dan ekonomi[23]. Masyarakat Islam saat ini, oleh Taqyuddin dianggap tidak memiliki pemahaman dan posisi yang kuat tentang bagaimana perekonomian dibangun semestinya. Sehingga imbasnya adalah masyarakat Islam kini dipimpin dan hidup dibawah narasi dan ide ekonomi yang bukan bersumber dari ajaran Islam; kapitalisme. Nabhani (1996) mengatakan bahwa masyarakat Islam, secara defacto dipimpin dengan mempergunakan sistem ekonomi kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya[24]. Terkait dengan pandangan Nabhani mengenai sistem ekonomi kapitalis, ia mengatakan:

“............apabila kami paparkan sistem sistem ekonomi dalam pandangan ideologi Kapitalis, maka kita akan menemukan bahwa ekonomi dalam pandangan mereka adalah apa yang membahas tentang kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia beserta alat-alat (goods) pemuasnya. Dimana ia sesungguhnya hanya membahas masalah yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia. (taqyuddin Annabhani)[25]

Pendapat Nabhani diatas merupakan respon dan merupakan kritik pertama gerakan Hizbut Tahrir terhadap sistem ekonomi kapitalistik, yaitu sistem yang berorientasi sebatas pada pemuasan kebutuhan materi. Padahal terdapat kebutuhan manusia diluar kebutuhan materi tersebut, misalnya kebutuhan spiritual. Sistem ekonomi kapitalistik memandang bahwa persoalan ekonomi adalah bagaimana kebutuhan-kebutuhan manusia mesti dipenuhi, sementara yang di pandang sebagai kebutuhan oleh sistem ini sangatlah sempit dan terbatas. Nabhani (1996) mengatakan bahwa kebutuhan-keutuhan itu bisa jadi merupakan kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dirasakan, namun tidak dapat diindera oleh mereka[26]. Contoh dari kebutuhan yang hanya dapat dirasakan namun tidak terindra adalah jasa guru dan dokter. Selain itu, sistem ekonomi kapitalistik juga tidak melihat kebutuhan ma’nawi (spiritual) sebagai kebutuhan, seperti rasa bangga, pensucian tertinggi, dan persoalan spirituil lainnya. Sistem ekonomi ini, oleh Nahbani dianggap tidak memberikan tempat pada hal-hal diatas dan tidak pernah diperhatikan dalam membahas kajian ekonomi tersebut[27].

Kritik Taqyuddin dan Hizbut Tahrir terhadap sistem ekonomi kapitalis selain orientasi utamanya yang materialistik adalah persoalan tentang apa yang disebut dengan main problem dalam ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis menilai bahwa problem utama ekonomi adalah soal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jadi, tujuan utama pembahasan ekonomi adalah mengupayakan pertambahan barang-barang dan jasa-jasa yang akan dikonsumsi oleh seluruh manusia[28]. Yang perlu dicermati kemudian adalah dinamika permintaan-penawaran yang tidak berjalan secara netral. Dalam sistem ekonomi kapitalistik ini, permintaan dan konsumsi masyarakat tidak terjadi secara alami melainkan by designed. Sistem ekonomi kapitalistik merekayasa agar masyarakat senantiasa meningkatkan konsumsi dan bermental konsumtif, tanpa membedakan apa kebutuhannya – primer, tersier, atau sekunder-. Persoalan yang kemudian timbul adalah ketidakmerataan distribusi pemuas kebutuhan, disatu sisi, terdapat anggota masyarakat yang senantiasa mampu mengakses kebutuhannya, dari yang primer hingga tersier. Namun disisi lain terdapat masyarakat yang mengalami kesulitan dalam mengakses kebutuhan primernya (dasar dan pokok). Dan konsekuensi lainnya adalah produksi secara terus menerus merupakan fokus dari ekonomi kapitalistik ini dalam menyelesaikan hal yang dianggap sebagai persoalan ekonomi.

Sementara Taqyuddin (1996) menganggap bahwa masalah ekonomi sebenarnya hanya terletak pada distribusi harta dan jasa tersebut kepada tiap-tiap individu, dalam rangka memenuhi kebuthan primer (basic needs) mereka secara menyeluruh, serta membantu mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder hingga kebutuhan lux mereka[29]. Taqyuddin (1996) kemudian berpendapat bahwa kebutuhan-kebutuhan primer manusia dari segi manusianya (yaitu bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan) ini tidak akan pernah bertambah (bersifat statis). Akan tetapi yang terus meningkat adalah kebutuhan primer atau tersier[30].

Oleh sebab itulah, Taqyuddin (1996) mengatakan bahwa harus ada kaidah-kaidah yang dipergunakan sebagai pijakan oleh anggota masyarakat dalam rangka menentukan, mana kebutuhan-kebutuhan yang akan memperoleh pemenuhan, dan mana kebutuhan-kebutuhan yang mesti diabaikan[31]. Untuk mengatur ini kemudian dierlukan satu mekanisme yang khas untuk mencapai distribusi pemenuhan kebutuhan yang baik, agar tercapai pemerataan kesejahteraan dalam masyarakat.

II.2 Hizbut Tahrir menilai Liberalisasi ekonomi

Taqyuddin Nabhani (1996) mengatakan bahwa ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, masalah mengelola kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut ditengah-tengah mereka[32]. Sehingga persoalan kepemilikan dan sitribusi kekayaan merupakan hal pokok yang menjadi perhatian Islam pada umumnya, dan gerakan wacana hizbut Tahrir lebih khususnya. Pada dasarnya wacana poverty yang sepenuhnya merupakan hak Tuhan, oleh Taqyuddin dan gerakan ini, dinilai sebagai hal yang mutlak. Taqyuddin menjelaskan bahwa kekayaan adalah milik tuhan semata. Hanya masalahnya, Tuhan telah menyerahkan kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka[33].

Taqyuddin menjelaskan dua jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan kolektif (collective poverty), kepemilikan negara (state poverty). Barang-barang yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat termasuk kedalam kategori kepemilikan umum. Taqyuddin (1996) mengutip pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal , terkait dengan persoalan kepemilikan umum ini : manusia sama-sama membutuhkan dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api[34]. Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat (masyarakat)[35]. Hizbut Tahrir kemudian memahami bahwa barang-barang yang merupakan basic needs atau kebutuhan pokok mutlak dikelola oleh negara. Karena jika hal ini dibiarkan agar dikelola oleh perseorangan (private) akan terjadi monopoli dan tidak terdistribusi kesejahteraan dengan baik.

II.3 Konteks kapitalisme dan liberalisasi Indonesia: Resistensi Wacana Hizbut Tahrir di tingkat negara

Bentuk dari liberalisasi ekonomi di Indonesia adalah perubahan dalam UUD 1945 yang memberi ruang yang begitu luas kepada swasta untuk memonopoli barang-barang pokok (basic need) yang semestinya menjadi Public Good dan dikuasai oleh negara. Majalah Alwa’ie[36] menjelaskan bahwa UUD 1945 yang baru membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak mengherankan jika kemudian lahir UU migas, UU kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal sebagai turunan dari UUD 1945 hasil amandemen. Asing boleh menguasai sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak[37].

Kalangan Hizbi di Indonesia menilai bahwa dampak dari liberalisasi ekonomi di Indonesia akan menciptakan ruang yang tidak adil dalam masyarakat, dimana sangat mungkin terjadi situasi dimana sebagian kecil anggota masyarakat mampu mendapatkan akses dalam pemenuhan basic need, namun sebagian besar lain anggota masyarakat tidak mendapatkan akses terhadap kebutuhan tersebut. Ketika barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar diserahkan kepada mekanisme pasar, maka harga hanya akan dipengaruhi oleh dinamika penawaran dan permintaan. Negara tidak diberi ruang untuk melakukan subsidi, proteksi, dan intervensi dalam bentuk apapun.

Walhasil, ketika dinamika pasar menghendaki kenaikan harga barang pokok, negara tetap tidak diperkenankan untuk turut campur. Dampak liberalisasi ekonomi yang paling terasa bagi rakyat adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)[38]. Ketika harga minyak di pasaran dunia, untuk menghindari defisit anggaran, pemerintah serta merta mencabut subsidi BBM. Hal ini tentunya akan menyulitkan masyarakat miskin untuk medapatkan BBM. Disamping tidak adanya subsidi, liberalisasi juga menjadikan BBM dikuasai oeh swasta asing. Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, mengatakan bahwa terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapatkan izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisisan bbm untuk umum, diantaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevon-Texaco (Amerika)[39]. Data dari serikat pekerja Pertamina, perusahaan asing menguasai sekitar 90% migas Indonesia[40].

Liberalisasi di Indonesia juga diberlakukan atas barang publik lainnya, yaitu air. Pemerintah melalui UU Sumber Daya Air memberikan kesempatan kepada investor asing untuk masuk dalam penguasaan air di Indonesia. Privatisasi ini ditandai dengan bercokolnya dua perusahaan asing di ibukota negara, yaitu Thames (Inggris) dan Lyonase (Prancis)[41]. Jaringan Komunikasi juga tak lepas dari upaya privatisasi. Perusahan asing berhasil pula menguasai indosat; perusahaan yang mengendalikan satelit dan seluruh jalur komunikasinya[42]. Hal-hal lain yang juga merupakan turunan dari agenda liberalisasi dan terus di kritik Hizbut Tahrir Indonesia antara lain adalah UU penanaman modal dan privatisasi BUMN.

III.1 Aktor dalam Kontestasi Global

Terdapat beberapa aktor yang terlibat dalam interaksi global, yaitu negara (states), korporasi, dan gerakan sipil. O’ Brien R mencermai interaksi aktor-aktor dalam dinamika global ini dan memfokuskan pada interaksi dua aktor, yaitu korporasi dan gerakan sipil. Dalam dinamika global, kedua aktor tersebut sama-sama melakukan transnasionalisasi. Transnasionalisasi yang dilakukan korporasi disebut dengan MNC (Multi National Corporation). Sementara transnasionalisasi yang dibangun oleh gerakan sosial adalah GSM (Global Social Movement). Bagian ini mencoba menjelaskan pemahaman mengenai fenomena GSM ketika ia berkontestasi dan bersinggungan dengan MNC di lingkungan interaksi global. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai Gerakan Sosial Global (baca:GSM), perlu kiranya penulis jelaskan pengertian seputar gerakan sosial, definisi dan faktor apa yang membentuknya, terlepas dari proses transnasionalisasi yang ia lakukan.

Piort Sztompka (2005) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang diorganisasi secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka[43]. Definisi-definisi lainnya yang lebih ringas terkait dengan gerakan sosial adalah sebagai berikut. Blumer (1951) dalam Sztompka (2005) mengartikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yanga baru[44]. Lang dan Lang (1961) menjelaskan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial[45]. Zald dan Berger (1978) menjelaskan gerakan sosial sebagai wujud kesukaan untuk berubah dikalangan anggota masyarakat atau upaya kolektif khusus untuk menyatakan keluhan dan ketidakpuasan dan atau mendorong atau menghambat perubahan[46]. Sementara Tilly (1979) mendefinisikan gerakan sosial sebagai rentetan interaksi terus menerus antara pemegang kekuasaan nasional dan organisasi yang berhasil menyatakan diri berbicara mengatasnamakan perwakilan yang kurang formal; dalam interaksi itu organisasi ini mengajukan tuntutan perubahan distribusi atau pelaksanaan kekuasaan dan kembali menuntut bersama pengunjuk rasa pendukungnya[47].

Saat gerakan sosial ini mentransnasionalisasikan dirinya, gerakan sosial menjadi Gerakan Sosial Global (Global Social Movement). Schlote (1997) dalam O’Brien (2000) mengatakan bahwa Gerakan Sosial Global melakukan aktivitas baik di ruang global maupun lokal, nasional maupun internasional. Terminologi global yang melekat memiliki keterkaitan dengan aktivitas yang termasuk dalam dimensi lokal, nasional, dan internasional[48]. O’ Brien (2000) juga menegaskan bahwa Gerakan Sosial Global sebagai kelompok yang bekerja lintas dunia dengan tujuan melakukan perubahan sosial[49]. Ringkasnya, Gerakan Sosial Global merupakan Gerakan Sosial yang mentransnasionalisasi ide, gagasan, dan gerakan-gerakannya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gerakan sosial mampu menglobalkan dirinya. O’Brien R (2000) sedikitnya menyebutkan terdapat lima faktor yang relatif berpengaruh, yaitu: Liberalisasi ekonomi, berkembangnya teknologi informasi, pusat otoritas baru (new centres of authority), Instabilitas keuangan global, penguatan ideologis, dan semakin gencarnya gerakan politik dari GSM itu sendiri[50].

Gerakan Sosial Global merupakan aktor yang turut terlibat dan berkontestasi dalam dinamika global. Sehingga merupakan hal yang lumrah manakala kita menemukan Gerakan Sosial Global bersinggungan dengan aktor-aktor lainnya, negara dan MEI/MNC. Baik MEI ataupun MNC, oleh O’Brien R (2000) merupakan entitas yang senantiasa tampil untuk kepentingan dan agenda neoliberal[51]. Namun disisi lain, Gerakan Sosial Global tampil dengan kepentingan yang berlawanan. Gerakan Sosial Global, oleh O’Brien R (2000) dinilai mencoba untuk melakukan transformasi institusional melalui proses politik (nonformal) dan dengan tujuan perubahan yang radikal[52]. Dalam banyak kasus, Gerakan Sosial Global seringkali terlihat menentang falsafah neoliberal dan kepentingan materi yang berada dibalik kebijakan-kebijakan MEI/MNC[53].

III.2 Kontestasi Hizbut Tahrir

Dari berbagai definisi mengenai gerakan sosial yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka Hizbut Tahrir dapat dikategorikan sebagai suatu Gerakan Sosial Global. Jika Gerakan Sosial adalah, sebagaimana yang dimaksud oleh Sztompka, upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yanga baru, maka gerakan Hizbut Tahrir merupakan gerakan kolektif yang besar dan memiliki orientasi mengubah tatanan yang mapan saat ini. Hizbut Tahrir menawarkan sistem Khilafah Islamiyah sebagai ide yang melandasi tatanan baru yang diidamkan. Hizbut Tahrir juga kemudian melakukan transnasionalisasi ide, gagasan, dan gerakannya. Gerakan yang tadinya di deklarasikan di Palestina dan kemudian berpusat di Yordania, setelah beberapa waktu mampu menyebarkan pengaruhnya ke banyak negara.

Sebagai Gerakan Sosial Global, Hizbut Tahrir konsisten dalam melakukan kritik dan perlawanan terhadap falsafah neoliberal yang seringkali bersembunyi dibalik aktivitas MNC dan MEI. Hizbut Tahrir kemudian tampil di ruang kontestasi untuk berhadapan dengan aktor-aktor dalam interaksi global lainnya. Adapun bentuk-bentuk kontestasi yang dilakukan Hizbut Tahrir adalah dalam penulis coba kategorikan kedalam dua bentuk gerakan sebagai berikut yaitu Gerakan Wacana dan Gerakan Advokasi. Dalam pengambilan contoh kasuistis, penulis lebih mengambil pada gerakan-gerakan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua bentuk gerakan yang dibangun Hizbut-tahrir merupakan bukti bahwa Hizbut-Tahrir terlibat dalam kontestasi.

1. Gerakan Wacana

Gerakan wacana Hizbut Tahrir merupakan gerakan yang dilakukan Hizbut Tahrir dalam mengcounter kemapanan ide neoliberal. Diskursus yang dibangun Hizbut Tahrir dalam gerakan wacana ini cukup konsisten, yaitu gagasan pendirian Khilafah Islamiah. Tujuan dari gerakan wacana yang dibangun Hizbut Tahrir ini adalah membangun opini dan kesadaran publik bahwa gagasan yang dibangun Hizbut Tahrir suatu saat nanti dapat diterima. Terdapat beberapa media yang dilakukan Hizbut Tahrir dalam melancarkan akivitas gerakan wacana ini. Pertama, dengan membuat konferensi yang diikuti oleh peserta yang masif. Konferensi-konferensi yang menghadirkan banyak peserta ini setidaknya berdampak pada dua hal, pertama memantapkan narasi gerakan (pendirian Khilafah) dikalangan pendukungnya sendiri, dan kedua, hal ini akan bepengaruh pada wacana masyarakat umum. Pada 2007 lalu, Hizbut Tahrir pernah menggelar Konferensi Nasional di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta dengan dihadiri 80 ribu pendukung Hizbut Tahrir Indonesia. Pada akhir Desember 2008 ini, serangkaian konferensi akan kembali digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia dengan tajuk Konferensi Muslimah Nasional, yang akan diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia.

Gerakan wacana lainnya dilakukan Hizbut Tahrir melalui penerbitan. Bentuk penerbitan ini dilakukan oleh gerakan Hizbut Tahrir di berbagai negara bahkan aktivitas ini telah menjadi icon dari perjuangan Hizbut Tahrir.Di Indonesia, Hizbut Tahrir memiliki buletin Al-Islam yang terbit setiap minggunya dan disebar di banyak Masjid di Indonesia dan majalah Al Wa’ie. Dalam buletin dan majalah ini, kritik-kritik HTI tentang kemapanan kapitalisme, neoliberal, dan sistem alternatif yang diajukan disampaikan melalui buletin Al Islam. Hizbut Tahrir juga menyebarkan ide-idenya melalui jaringan internet, dimana dalam jaringannya terlihat betul konektivitas gerakan Hizbut Tahrir di seluruh dunia.

2. Gerakan Advokasi

Hizbut Tahrir merupakan gerakan yang memiliki concern dalam melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan MNC dan MEI yang berfalsafah neoliberal. Gerakan advokasi ini merupakan gerakan yang dilakukan Hizbut Tahir dalam menentang berbagai aktivitas yang mendukung ide neoliberal dan bertentangan dengan gagasan Hizbut Tahrir. Ketika pemerintah SBY menaikan BBM pada Juni 2008 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia di berbagai daerah cukup gencar melakukan aksi penolakan. Gerakan Hizbut Tahrir di berbagai negara juga gencar melakukan penolakan terhadap berbagai bentuk privatisasi dan kebijakan neoliberal lainnya. Hizbut Tahrir Indonesia merupakan kelompok di Indonesia yang cukup konsisten pertentangannya terhadap liberalisasi ekonomi. Hizbut Tahrir Indonesia sempat beberapa kali turun ke jalan menyuarakan isu-isu seputar penolakan UU Migas, PMA, dan peraturan-peraturan yang menyokong kepentingan agenda neoliberal.

Kesimpulan

Sebagai gerakan sosial, Hizbut Tahrir mampu mengonsolidasikan organisasinya dan memperluas pengaruhnya ke berbagai negara. Dalam istilah O’Brien, Hizbut Tahrir dinilai mampu berkontestasi dalam ruang global. Gerakan-gerakan Hizbut Tahrir, baik yang bersifat wacana maupun advokasi telah membentuk gerakan ini menjadi gerakan yang fenomenal. Wacana dan diskursus yang menjadi fokus gerakan seringkali menjadi perhatian aktor-aktor lainnya dalam kontestasi global. Keberhasilan Hizbut Tahrir terletak dari konsistensi Hizbut Tahrir dalam memperjuangkan wacananya –penegakan Khilafah Islamiyah – dan metode gerakannya. Konsistensi inilah yang kemudian menjadikan gerakan ini memiliki pengaruh luas dan sanggup bertahan dalam kontestasi.

Kritik penulis terhadap Gerakan ini adalah Hizbut Tahrir tidak mampu menyentuh dimensi basis dalam membangun gerakannya. Konsentrasi gerakan ini dalam membangun wacana dan diskursus mengabaikan kedekatannya dengan massa rakyat di akar rumput. Hal ini menjadikan gerakan ini tidak mendapat dukungan yang baik selain dari kelompoknya.



[1] Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di Ijzim, masuk wilayah Haifa. Nama
lengkap beliau adalah Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail
bin Yusuf an-Nabhani. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menamatkan pendidikan dasar di sekolah dasar
negeri di Ijzim. Beliau kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Lalu
beliau melanjutkan studi di Tsanawiyah Syariah di Haifa. Sebelum
menyelesaikannya, beliau pindah ke Kairo; melanjutkan studi di Tsanawiyah
al-Azhar (setingkat SMU) pada tahun 1928. Pada tahun yang sama beliau meraih
ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Kemudian beliau melanjutkan studi di
Kulliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau
juga belajar di Universitas al-Azhar. Pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai asisten (musyƃ¢wir) qadhi sampai tahun 1945. Pada tahun ini beliau diangkat sebagai qadhi di Ramalah sampai tahun
1948. Pada tahun ini pula beliau terpaksa eksodus ke Syria akibat Palestina
jatuh ke tangan Yahudi. Selanjutnya, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti'naf saat itu, Syaikh Abd al-Hamid as-Sa'ih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diangkat
sebagai anggota Mahkamah Isti'naf. Beliau terus menduduki jabatan ini sampai
mengundurkan diri tahun 1950. dikutip di http//www.freelist.org/post/nasional_list//ppiindia-biografi-singkat-pendiri –hizbut-tahrir-syaikh-Taqiyuddin-Annabhani,1

[2] Dikutip dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian WAMY.2006.Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya).I’tishom. hal 88

[3] Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia

[4] Muhammad Ismail Yusyanto dalam Manhaj Hizbut Tahrir Fi Al-Taghyir (Telaah Sekilas) dikutip di :

[5] di http//www.freelist.org/post/nasional_list//ppiindia-biografi-singkat-pendiri –hizbut-tahrir-syaikh-Taqiyuddin-Annabhani,1

[6] Dikutip dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian WAMY.2006.Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya).I’tishom. hal. 89

[7]Ibid

[8] Ibid. Hal 93

[9] Dikutip dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian WAMY.2006.Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya).I’tishom. hal. 89

[10] Penulis akan elaborasi pernyataan lebih dalam ini di bagian selanjutnya

[11] Ismail Yusyanto mengatakan bahwa imperialisme merupakan pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas suatu negara untuk dieksploitasi.1 Imperialisme atau penjajahan (isti'mariyah) merupakan metode baku dari ideologi kapitalisme dalam menyebarkan pengaruhnya. Kendati merupakan metode baku, tapi manifetasi imperialisme muncul dalam beragam bentuk, bisa berupa dominasi militer, politik, ekonomi, budaya maupun bentuk yang lain. Dikutip dari ……

[12] Dikutip di ..........

[13] Ibid

[14] Buku pedoman yang berisikan pokok-pokok pemikiran Hizbut Tahrir

[15] Mafahim Hizbut Tahrir, Pustaka Thoriqul Izzah, Bogor, 2004

[16] Ibid Hal 2

[17] Yang dimaksud dengan pemikiran disini adalah aktivitas berpikir pada diri ummat tentang realitas yang mereka hadapi. Dimana mereka masing-masing secara keseluruhan senantiasa mempergunakan informasi (pengetahuan) yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta atau fenomena untuk menentukan hakikat fakta atau fenomena tersebut. Dengan kata lain, mereka senantiasa harus memiliki pemikiran yang mereka gunakan dalam menatap kehidupan mereka: pendapat syaikh Taqyuddin Nabhanni dalam bagian pengantar buku Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, hal 1-2.

[18] Ibid.Hal 4

[19] Annabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya Risalah Gusti.

[20] Ibid

[21] Ibid

[23] Annabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya Risalah Gusti. Hal 5

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid hal 21

[30] Ibid hal 21-22

[31] Ibid. Hal 8

[32] Ibid. Hal 61

[33] Ibid

[34] ibid

[35] Ibid

[36] Media resmi Hizbut Tahrir Indonesia

[37] Majalah Al Wa’ie No 96 Tahun VIII, 1-31 Agustus 2008. hal 11

[38] Ibid

[39] Ibid

[40] Ibid

[41] Ibid

[42] Ibid

[43] Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta. Prenada. Hal. 325

[44] Ibid

[45] Ibid

[46] Ibid

[47] Ibid

[48] O’Brien R. 2000. Contesting Global Governance: Multilateral Economic Institutions and Global Social Movements. Cambridge: Cambridge University Press. Hal 13

[49] ibid

[50] Ibid. Hal 7

[51] Ibid. Hal 5

[52] Ibid

[53] Ibid. Hal 9

1 komentar:

  1. Kritik mengenai HTI sudah ditindaklanjuti. Sekarang sudah mulai banyak massa rakyat di akar rumput yang mengenal dan mendukung penerapan syariat mulai dari level individu, masyarakat, bernegara.

    BalasHapus