Minggu, 28 Desember 2008

Menolak Kenaikan BBM,

Bhakti Eko Nugroho

Aktivis BEM FISIP UI

Kenaikan BBM telah pemerintah umumkan sejak akhir Mei 2008 lalu. Implikasi dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat telah cukup terasa. Meski tidak terlampau signifikan, kenaikan harga-harga bahan pokok saat ini dapat disebut sebagai bentuk konsekuensi atas kebijakan kenaikan BBM. Implikasi lain yang dirasa cukup signifikan ialah keputusan menaikan tarif angkutan umum secara sepihak oleh pengemudi angkutan umum, meski Organda belum menetapkan kebijakan resmi. Keresahan rakyat atas kenaikan BBM dan harga-harga kini menjadi pembicaraan umum di tengah sesak bus kota, pasar, warung kopi, pangkalan minyak, dan tempat-tempat lain dimana rakyat yang telah putus asa bekerumun. Begitulah realitas empiris kehidupan masyarakat pascakebijakan kenaikan BBM sehingga memaksa kita berkesimpulan bahwa kebijakan kenaikan BBM tersebut anti-rakyat. Namun di lain situasi, dengan dalih mencegah ‘dis-peruntukan’ atas subsidi BBM, hingga hari ini pemerintah masih yakin bahwa kebijakan menaikan BBM adalah upaya melawan kemiskinan itu sendiri.

Revrisond Baswir mengatakan bahwa persoalan naiknya harga bahan bakar minyak bukan sekadar tidak adanya keberpihakan pemerintah pada rakyat, tetapi merupakan kemenangan neoliberalisme. Agenda neoliberalisme tidak pernah hilang. Bahkan, telah merasuk dan menanamkan pengaruhnya yang kuat pada orang yang punya akses terhadap pengambil keputusan di Indonesia[1]. Hal sejalan juga disuarakan oleh KAU (Koalisi Anti Utang). Dalam situsnya KAU berpendapat bahwa kenaikan BBM bukanlah semata-mata persoalan ekonomi, tetapi lebih pada pelaksanaan agenda ekonomi neoliberalisme yang didorong oleh lembaga kreditor seperti Bank Dunia. Yaitu untuk meliberalisasi sektor Migas bagi beroperasinya perusahaan minyak asing dari sektor hulu hingga hilir di Indonesia[2].

Neoliberal dan kebijakan kenaikan BBM

Dengan memunculkan diksi neoliberal dalam tulisan ini, penulis beranggapan perlu sedikit mengkaji kebelakang logika dasar neoliberalisme dan sepak terjangnya dalam berbagai kebijakan di Indonesia. Logika neoliberalisme berawal dari sebuah pertemuan antara Departemen Keuangan Amerika, IMF, dan World Bank pada tahun 1989. Pertemuan tersebut dilatari atas permasalahan ekonomi yang menjerat Amerika latin. Hasil dari pertemuan ini ialah kesepakatan tawaran solusi untuk mengatai permasalahan tersebut. Rumusan solusi ini di gagas oleh John Williamson dan dikenal dengan nama Wahington Concencus. Solusi tersebut mencakup 10 kebijakan antara lain : fiscal discipline, a redirection of public expenditure, tax reform, interest rate liberalization, competitive exchange rate, trade liberalization, liberalization of FDI inflow, privatization, deregulation, and secure property rights.[3]

Solusi yang tadinya diperuntukan bagi negara-negara di Amerika latin, kemudian disodorkan pula kepada negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Permasalahan dan krisis ekonomi-moneter yang menimpa Indoneia pada tahun 1997 mengundang IMF –sebagai lembaga yang merupakan corong logika neoliberal- menawarkan solusi atas permasalahan ekonomi di Indonesia. Selanjutnya, Indonesia dan IMF semakin menunjukan sikap saling percaya manakala keduanya menyepakati program penyesuaian struktural (Structural Adjusment Programme), yang merupakan sebuah agenda penyesuaian struktur ekonomi Indonesia agar lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional (Rizky, 2007)[4]. Sejak inilah, dasar kebijakan perekonomian di Indonesia bercorak neoliberal termasuk didalamnya kebijakan menaikan harga BBM sejak tahun 1997 hingga saat ini.

Jika coba melirik lebih jauh, kebijakan menaikan BBM benar-benar merupakan agenda neoliberal. Logika dasarnya terletak pada doktrin Washington Consencus kedua, yaitu redirection of public expenditure. Logika neoliberal yang berarti mencabut pengeluaran pemerintah di sektor publik ini tercermin dari kebijakan pemerintah yang menarik subsidi BBM. Subsidi merupakan hal yang tidak sejalan dengan logika neoliberal. Subsidi dalam teori ekonomi diyakini menjadi salah satu sumber ketidakefesienan. Menjadikan penerima menjadi malas dan mematikan kreatifitas. Tidak heran jika muncul pendapat subsidi tidak bisa menjadi solusi universal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Perdana, 2003)[5]. Bahkan Lokarya Program Lingkungan PBB (UNEP) dan IEA di Bangkok pada Januari 2001 mengakui bahwa subsidi seringkali justru sumber inefesiensi, pemicu konsumsi energi berlebih dan tidak mendorong terciptanya upaya konversi energi (Kompas, 26/02/2005)[6]. Andrinof Chaniago mengatakan bahwa keinginan kuat logika neoliberal adalah membebaskan perdagangan dari subsidi, proteksi, dan sebagainya. Andrianof menambahkan bahwa argumentasi mereka tentu klasik. Perdagangan bebas akan mendorong efisiensi, dan efisiensi ini pada akhirnya akan memakmurkan semua orang[7].

Defisit anggaran yang ditemui pemerintah pada APBN 2008 juga mempengaruhi pertimbangan pemerintah dalam mencabut subsidi dan menaikan harga BBM. Tjiptoherijanto mengatakan bahwa subsidi dituduh telah membebani anggaran dan mengakibatkan defisit APBN. Sebenarnya secara teoritis argumen tersebut telah terbantah. Anggaran negara, dibedakan menjadi anggaran surplus dan anggaran defisit. Indonesia selama ini menganut anggaran defisit dengan alasan ketidakmampuan menarik pajak yang lebih besar. Sehingga ketergantungan terhadap bantuan asing masih menjadi ciri perekonomiannya (Tjiptoherijanto,1979)[8]. Pada akhirnya, kebijakan menarik subisidi atas BBM ini dianggap akan mengurangi defisit anggaran dan turut merangsang satu pertumbuhan ekonomi.

Tidak adanya subsidi dan proteksi dalam sektor publik menunjukan peran negara yang malas dan pasif dalam menghadapi dinamika pasar. Ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan, maka untuk menyelamatkan anggaran pemerintah ‘sekonyong-konyong’ akan mencabut subsidi atas BBM. Ketiadaan subidi dan proteksi atas barang publik, pada kenyataannya hanya akan menjadikan rakyat kecil semakin sulit mendapatkan akses atas barang-barang publik tersebut, termasuk BBM. Menurut Revrisond Baswier, pada akhirnya negara akan mempersilakan pemilik modal untuk menguaai republik ini[9]. Neoliberalisme lambat laun akan mengikis hak masyarakat dalam mendapatkan akses atas barang publik. Baswir mengatakan bahwa BBM ini hanya sebagian kasus saja, nantinya air, pendidikan, dan sebagainya juga akan dilepas pada pasar. Let’s market work[10].

Solusi

Kebijakan kenaikan BBM tidak merupakan konsekuensi dari satu penyebab. Ia merupakan implikasi dari agenda neoliberal di Indonesia yang telah sejak lama mendarah daging dalam berbagai kebijakan ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itulah, solusi dan bentuk penolakan atas kebijakan kenaikan BBM tidaklah berorientasi pada capaian lokal. Menolak kebijakan kenaikan BBM berarti melawan dan membendung setiap agenda neoliberal yang tersirat dalam berbagai kebijakan pemerintah. Logika neoliberal yang menciutkan peran negara dan melemahkan peluang rakyat dalam mengakses sumber daya publik harus senantiasa mendapat perhatian serius. Kebijakan kenaikan BBM telah dilaksanakan, implikasinya puntelah semakin sesak terasa. Karena itulah, penolakan merupakan logika yang sangat pantas kita sampaikan atas kebijakan tersebut..

Selanjutnya, penulis mengajukan dua hal yang penting untuk menjadi fokus perhatian kita bersama guna meminimalisasi munculnya kebijakan kenaikan BBM di kemudian hari. Pertama, memperkuat peran negara atas perolehan barang publik. Richard Nixon mengatakan bahwa Indoneisia merupakan karunia terbesar bagi dunia, dan tampaknya ungkapan tersebut bukanlah berlebih. Paradoksnya ialah manakala Indonesia dan kekayaan alamnya mampu memberikan karunia kepada pemodal asing, Korporasi multinasional, dan agen-agen neoliberal, namun memberikan kesengsaraan berarti bagi rakyatnya. Keberadaan subsidi dan proteksi atas barang publik mutlak diperlukan guna menghambat laju neoliberalisme dalam menguasai barang publik milik rakyat. Falsafahnya telah ada sejak lama dan tercantum dalam pasal 33 UUD 1945; cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempergunakan kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Kedua, penulis beranggapan bahwa pemerintah mesti menegosiasikan moratorium pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang kini sangat memberatkan APBN. Kita mengatahui bahwa beban APBN 2008 atas utang luar negeri adalah lebih dari 30%, sementara alokasi anggaran untuk sektor publik jauh lebih sedikit dari itu. APBN merupakan cermin keberpihakan pemerintah. Ketika pemerintah mengalokasikan lebih banyak anggaran negara bukan terahadap sektor publik, maka hal tersebut menunjukan betapa lemahnya pemerintah dan negara atas dominasi pasar. Lebih banyaknya alokasi APBN atas peruntukan pembayaran utang luar negeri merupakan cermin masih mengakarnya logika neoliberal dalam kebijakan anggaran dan pemerintah lebih berorientasi pada bukan atas kepentingan rakyat. (BE)



[1] Revrisond Baswir; ekonom UGM. Menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Fenomena Neoliberalisme dan pelacuran intelektual yang diselenggarakan Forum Muda Kagama di Jakarta 2-3-2008. Dikutip di www.kompas.com

[2] Dikutp di www.kau.or.id. Artikel berjudul; Kenaikan Harga BBM Bukti Pemerintah Tunduk Pada Aturan Bank Dunia

[3] Dikutip dari tulian Lukman Hakim berjudul Agenda Neoliberalime dibalik kenaikan BBM pada situs www.HMINEWS.com

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Andrinof Chaniago, Dosen Ilmu Politik FISIP UI. Dikutip di www.kompas.com

[8] Dikutip dari tulian Lukman Hakim berjudul Agenda Neoliberalime dibalik kenaikan BBM pada situs www.HMINEWS.com

[9] Revrisond Baswir; ekonom UGM. Menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Fenomena Neoliberalisme dan pelacuran intelektual yang diselenggarakan Forum Muda Kagama di Jakarta 2-3-2008. Dikutip di www.kompas.com

[10] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar