Minggu, 28 Desember 2008

Kejahatan Kemiskinan

Bhakti Eko Nugroho
Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia

kejahatan dan Kemiskinan merupakan wujud nyata permasalahan negeri ini. Realitas tersebut demikian tampak manakala ‘layar kaca’, pada pekan-pekan terakhir, menyuguhkan kita situasi paradoks; yaitu kenyataan masyarakat yang terpaksa miskin diatas tanah dan air yang maha kaya. Di Makasar kita temui seorang ibu dan anaknya mati kelaparan. Bayi-bayi di Jember, NTT, NTB, Semarang, Sulawesi, bahkan Jakarta, tengah mengalami kekurangan gizi dan hampir mati pula karenanya. Ibu-ibu dari keluarga miskin di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Depok, Bogor, dan kota-kota lain di negeri ini tengah merasakan kenaikan harga minyak yang membumbung. Berbagai kenyataan pahit tersebut merupakan bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa kemiskinan merupakan musibah besar dan mimpi buruk kita sebagai anak dari bangsa yang besar.

kemiskinan merupakan dua diksi yang menjadi isu utama dalam esai ini. Penjelasannya bukan pemaparan relasional dan kausalitas antara keduanya; yaitu kemisikinan menimbulkan kejahatan, meski bentuk relasi semacam itu akan banyak ditemui pada fakta dilapangan. Setidaknya hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mustafa (2007) bahwa secara individual seseorang melakukan kejahatan dapat berhubungan dengan tidak dinikmatinya kesejahteraan sosial dalam berbagai aspek, dan kemudian tindakan kejahatan yang dilakukannya merugikan pihak lain. Bahkan di penghujung abad 19, ilmuwan sosial seperti Rosseau telah mengatakan bahwa kesengsaraan merupakan induk dari kejahatan.

Akan tetapi, esai ini mencoba menegaskan bahwa kejahatan adalah kemisikinan itu sendiri. Konstruksi yang hidup dimasyarakat tentang definisi kejahatan telah mengaburkan seriusitas masyarakat dalam reaksi terhadap kejahatan tersebut. Quinney menjelaskan bahwa realitas kejahatan dikonstruk oleh kepentingan dominan dengan berbagai kekuatan (hukum, politik, dan ekonomi) dan instrumen (media massa) yang dimiliki. Perilaku yang dianggap bertentangan dengan kepentingan kelompok dominan akan didefinisikan sebagai kejahatan. Sementara, berbagai perilaku yang akan mengokohkan kekuasaan kelompok dominan, meski berimplikasi pada kerugian kelompok lain masyarakat dengan jumlah yang lebih masif, amat jauh dari kemungkinan didefinisikannya perilaku tersebut sebagai kejahatan.

Kemiskinan merupakan situasi dimana masyarakat tidak memiliki aksesibilitas dalam mendapatkan hak-hak dan kebutuhan dasar karena terdapat hambatan-hambatan struktural. Hemat penulis, hambatan struktural tersebutlah yang merupakan awal hadirnya kemiskinan sebagai kejahatan. Sementara, hambatan struktural merupakan keadaan yang menciptakan masyarakat senantiasa terjerat dalam kemiskinan. Terdapat satu hambatan struktural yang sangat berpotensi dalam melahirkan kemiskinan, yaitu kebijakan negara atau state yang inkosisten dengan upaya anti kemiskinan. Bentuk dari kebijakan state yang anti upaya pemiskinan dapat berupa pembiaran dan penanggalan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan demikian, pelaku dalam kejahatan kemiskinan adalah negara bilamana ia mengabaikan pemenuhan hak masyarakat.

Pendidikan merupakan salah satu hak dasar masyarakat Indonesia dan pencerdasan kehidupan bangsa juga merupakan tujuan didirikannya Republik ini. Pada akhir tahun 2007 lalu, melalui pengesahan RUU BHP, pemerintah memutuskan untuk melepas sokongan finansial terhadap penyelenggaraan pendidikan. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah instansi pendidikan harus mendanai secara mandiri penyelenggaraan pendidikannya. Instansi pendidikan pada akhirnya membebankan pembiayaan pendidikan kepada masyarakat. Hal ini akan berdampak pada terbatasnya akses masyarakat dalam mendapatkan pendidikan. Dari sinilah awal perubahan sifat dan fungsi pendidikan, yaitu dari hak menjadi komoditas, karena hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan pembiayaan tersebutlah yang akan memperoleh pendidikan. Data Balitbang Depdknas pada 2003 (dimana negara masih memberikian sokongan finansial) menunjukan bahwa terdapat 15 juta (dari total 25 juta) siswa di Indonesia putus Sekolah. Tiga Juta siswa SMP (dari total sepuluh juta) tidak dapat melanjutkan ke SMA. Dan total masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi hanya lima juta penduduk di seluruh Indonesia.

Terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendidikan merupakan ilustrasi dimana masyarakat tidak memiliki akses dalam memperoleh hak pendidikannya. Pendidikan yang pada awalnya dianggap sebagai instrumen yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat kini hanya dapat di akses oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Alih-alih melakukan mobilitas vertikal, masyarakat miskinpun hanya terjerat dalam lingkar kemiskinanya. Ketidakmampuan masyarakat dalam mendapatkan pendidikan merupakan contoh dari bentuk kemiskinan itu sendiri. Ilustrasi tersebut sekaligus menjelaskan betapa kebijakan negara yang inkonsisten, dapat melahirkan kemiskinan. Dan disinilah situasi dimana kejahatan kemiskinan tengah berlangsung.

RUU BHP merupakan satu contoh dari kebijakan negara yang rentan kemiskinan dan merupakan bentuk dari kejahatan kemiskinan. Pencabutan subsidi bahan bakar pada tahun 2004, kelambananan pemerintah dalam pemenuhan tuntutan hak masyarakat Sidoarjo yang tenggelam lumpur Lapindo, hingga pembiaran kelangkaan minyak saat ini, merupakan bentuk-bentuk lain dari kejahatan kemiskinan.

Kebijakan negara menanggalkan campur tangannya dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya negara keluar dari permasalahan kemiskinan. Berawal dari basis pemikiran Adam Smith, dalam mewujudkan kemakmuran, negara harus seminimal mungkin perannya dalam perekonomian. Melalui minimnya peran negara dalam pembangunan ekonomi diharapkan akan tercipta kompetisi pasar dimana terdapat motivasi besar masyarakat dan senantiasa mengembangkan diri dan potensinya. Akan tetapi, dalam perwujudannya pasar yang diharapkan dapat menciptakan situasi ideal dan kemakmuran malah menjadi monopoli kelompok tertentu. Kekuatan perekonomian didominasi oleh segelintir elit dan masyarakat dalam tataran alit mengalami kekalahan dalam kompetisi. Lebih dari itu, “persekongkolan” pasar dan negara dalam membungkam alit dan mengokohkan kedudukannya berujung pada pemiskinan struktural.

Sebagai reaksi terhadap kebijakan kemiskinan sekaligus menghindari keberlangsungan situasi tersebut, solusi harus muncul political will dari pengelola negara sendiri. Negara diharapkan tidak lagi menanggalkan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakatnya, sebagaimana telah banyak tercantum dalam konstitusi. Negara harus kembali menunjukan keberpihakannya kepada masyarakat dan ini akan terwujud manakala negara terlibat langsung dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan murah berkualitas dan subsidi bahan pokok. Bukan melanggengkan kemiskinan dengan menggadaikan hak rakyat kepada pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar