Minggu, 28 Desember 2008

Ramadhan dan Perwujudan Keadilan Sosial

Bhakti Eko Nugroho

Mahasiswa Kriminologi UI,

Ketua Departemen Kajian Strategis BEM FISIP UI

Kesenjangan sosial merupakan salah satu isu yang menjadi sorotan berbagai ide di dunia. Tiap-tiap ide tersebut memiliki pijakan, sudut pandang, dan kerangka berpikir sendiri dalam membaca wujud kesenjangan sosial ini. Komunisme/sosialisme misalnya, melihat kesenjangan sosial sebagai permasalahan yang laten sebagai imbas dari adanya eksploitasi kelas sosial tertentu terhadap kelas sosial lainnya. Ide lain, seperi liberalisme, pada dasarnya berupaya pula menjawab permasalahan kesenjangan sosial ini. Memberikan kesempatan penuh pada individu dalam mengatur kehidupan ekonomi dan meminimalisasi peran negara merupakan ide yang diusulkan oleh liberalisme dalam upaya perwujudan keadilan sosial. Bahkan para bapak pendiri bangsa juga menetapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan didirikan negara ini.

Terlepas dari persoalan paradigmatik (ide atau isme), kesenjangan sosial merupakan kenyataan yang telah menjangkit masyarakat Indonesia sejak lama. Kenyataan-kenyataan empiris disekitar kita setidaknya dapat memberikan gambaran tentang wujud ketidakadilan yang menjangkit itu. Wujud itu dapat kita saksikan dari kian banyaknya sekolah dan universitas didirikan, namun kian banyak pula rakyat yang putus sekolah dan memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan. Atau kita saksikan wujud itu dari banyak bermunculannya pendirian hypermarket dan mal, diiringi dengan gencarnya penggusuran pedagang kaki lima. Kesenjangan juga akan semakin tampak manakala kita saksikan ribuan masyarakat di Sidoarjo yang kampungnya terendam lumpur dan tak jelas nasibnya, namun dilain peristiwa, ada pula rakyat di negeri ini yang rela menghabiskan 2 hingga 3 milyar sekedar untuk pelaksanaan resepsi pernikahan. Dari sampel-sampel realitas inilah, penyelesaian soal kesenjangan dan ketidakadilan sosial patut dikelompokan menjadi salah satu agenda besar kita.

Bumi untuk manusia dan keadilan

Terkait dengan isu dan kenyataan kesenjangan sosial ini, Islam menawarkan ide yang komprehensif dan aplikatif. Namun sebelum memaparkan kerangka ide Islam dalam melihat kesenjangan sosial ini, perlu kiranya lebih awal penulis jelaskan bagaimana Islam menilai persoalan bumi (dunia) dan kehidupan masyarakat yang tinggal diatasnya beserta kewajiban, hak, dan pola relasional diantaranya.

Bumi dan seisinya merupakan kreasi Allah swt yang sepenuhnya diciptakan untuk kepentingan makhluk-Nya, termasuk manusia. Dalam surat Arrahman ayat 55 disebutkan bahwa “....Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya”. Disebutkan pula dalam surat Al Mulk bahwa “Dialah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk makhlukNya”. Dua ayat diatas menunjukan betapa Allah memberikan keleluasaan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan tidak ada aturan Islam yang membatasi manusia dalam pemenuhan fitrah dan kebutuhannya.

Disamping kebebasan yang Allah berikan kepada manusia dalam mengelola bumi untuk pemenuhan kebutuhan hidup, batasan-batasan pokok juga telah digariskan. Batasan pokok tersebut merupakan ajaran keadilan itu sendiri. Dalam surat An Nahl ayat 90, disebutkan bahwa “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu ) berlaku adil...”. Surat Al An’am ayat 152 berisi perintah agar manusia berlaku adil: “dan sempurnakanlah takaran dalam dan timbangan dengan adil”. Ketegasan Islam dalam upaya perwujudan keadilan sosial juga dapat kita lihat dari surat Al Maidah ayat 8: “...dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”.

Ajaran-ajaran keadilan yang merupakan salah satu esensi Ide Islam dan tercatat dalam Al Aqur’an merupakan garis yang perlu di perhatikan manusia dalam menjalani kehidupan di bumi Allah ini. Islam tidak membatasi manusia dalam mengakses kebutuhan dan kesenangan hidup selama ia tidak melanggar hak Allah dan hak manusia lain. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial itu muncul manakala manusia tanpa sadar diri memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangan hidupnya sementara ia melupakan hak Allah dan hak Manusia lain. Pada dasarnya Islam sendiri tidak menafikan salah satu kecenderungan manusia ini, yaitu kikir dan serakah. Dalam surat Al Isra ayat 100, Allah menjelaskan: ...Katakanlah, “kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya, dan adalah manusia itu sangat kikir”. Ajaran-ajaran keadilan yang telah digariskan Islam merupakan rambu bagi manusia agar ia tidak merugi dan merugikan manusia lain akibat keserkahannya dan kekikirannya. Hal ini sekaligus menunjukan tanda kemuliaan Islam itu sendiri dan betapa kehadiran Islam benar-benar berorientasi pada kemaslahatan semua manusia yang hidup diatas bumi ini.

Pangkal dari ketidakadilan dan kesenjangan adalah manakala manusia menentang kasih sayang Allah. Manusia akan saling mencuri dan merampas hak manusia lainnya manakala ajaran-ajaran tulus tentang keadilan yang dibawa Islam tidak menjadi rambu-rambu yang patut di taati. Maka ketika batasan-batasan tersebut di langgar, tinggalah kesewenangan manusia yang berpautan dengan ketidakadilan sosial terjadi dan menjadi petaka bagi kehidupan manusia.

Islam menjawab ketidakadilan

Ide-ide selain Islam memiliki jawaban beragam mengenai persoalan ketidakadilan ini. Sosialisme/komunisme menolak segala bentuk kompromitas dalam perwujudan keadilan sosial. Segala tatanan yang ada (hukum, kebudayaan) di dunia ini, oleh sosialisme/komunisme dianggap sebagai perangkat-perangkat yang telah di monopoli oleh kepentingan kelas borjuis dalam upaya melanggengkan kekuasaannya (status Quo). Pertentangan kelas antara kelas yang ‘memiliki’ (borjuis-penguasa) dengan kelas yang ‘tidak memiliki’ (miskin-proletar) dianggap sebagai keniscayaan yang akan berlangsung terus menerus. Sehingga oleh sosialime/komunisme, keadilan sosial hanya akan terwujud manakala manusia yang ada dalam kelas ‘tidak memiliki’ tadi mengonsolidasikan dirinya dan mendobrak kemapanan dengan revolusi sosial.

Namun sebagai ajaran yang komprehensif dan langsung bersumber dari Allah, Islam memberikan panduan yang jauh lebih ideal dalam tataran normatif maupun praksis dalam meruntuhkan kesewenangan yang berimplikasi pada ketidakadilan tadi. Sayyid Quthb dalam Ma’alim Fi Atthariq mengatakan bahwa Islam adalah sebuah gerakan pemberontakan yang bertujuan menghancurkan setiap pola hubungan manusia yang menuhankan sebagian diatas sebagian lainnya. Upaya reduksional terhadap kesenjangan dan ketidakadilan sosial tak lepas dari perhatian Islam. Hakikat ketauhidan pada dasarnya upaya pembebasan manusia dari sistem yang tuhan-menuhankan sesama manusia dan satu upaya progresif perwujudan keadilan sosial. Dalam konteks kesenjangan dan ketidakadilan sosial ini, Islam menawarkan solusi yang tidak hanya ideal dalam tataran konsep namun sangat implementatif.

Sedikitnya Islam menawarkan dua ide yang merupakan sarana dalam perwujudan penegakan keadilan sosial. Pertama, tuntutan Islam atas penyelenggaraan negara yang adil dab Kedua mendorong semangat memberi ditingkat ummat.

Keadilan dari Negara adil

Dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 90 dijelaskan bahwa “....Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...”. Nilai serupa juga tercantum dalam surat Annisa ayat 58: “.....Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil”. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang paling dicintai dan dekat kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah pemimpin yang adil, dan yang seseungguhnya di benci Allah dan akan memperoleh siksaan yang amat pedih adalah pemimpin yang zalim.

Nilai-nilai yang tercantum dalam ayat Qur’an dan hadist diatas merupakan bentuk nyata nilai yang mendorong lahirnya perwujudan keadilan sosial. Islam menuntut agar pengelolaan negara diselenggarakan seadil-adilnya. Ketika nilai-nilai tadi di kangkangi, maka ketidakadilanlah yang akan muncul. Kita patut menilai laju pembangunan negeri ini: sudahkah ia dilaksanakan atas prinsip ajaran keadilan tadi. Apakah keputusan para penyelenggara negeri ini beberapa waktu terakhir seperti menaikan harga berbagai kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, elpiji, upaya privatisasi pendidikan melalui UU Badan Hukum Pendidikan , penggusuran kios-kios kaki lima diberbagai kota, dan kebijakan lainnya merupakan sebuah representasi dari falsafah keadilan yang dikehendaki Islam.

Sayyid Quthb dalam Keadilan Sosial dalam Islam mengatakan bahwa menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan Islam merupakan cara yang paling ampuh dalam mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial. Jika pengelolaan negeri ini tidak memiliki orientasi keberpihakan pada kepentingan rakyat banyak (ummat), diskriminatif, dan membatasi akses mereka dalam meraih hal yang semestinya menjadi hak dasar, maka ketidakadilan sosial sekaligus bencana yang disebabkan karenanya tak akan terhindarkan. Oleh sebab perannya yang besar dalam agenda perwujudan keadilan sosial, peran aktif negara dalam mewujudkan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat dalam mendapatkan hak-hak dasarnya mesti diperkuat.

Keadilan dari Masyarakat pemberi

Perwujudan keadilan yang ditawarkan Islam tidaklah selesai sampai pembebanan tugas ini pada negara. Disamping mendorong keterlibatan dan peran serta negara dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial, Islam juga mendorong terwujudnya cita-cita tersebut secara grounded. Islam mendorong terciptanya keadilan sosial yang dilakukan secara bottom up dan diawali oleh tiap-tiap ummat.

Dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, Sayyid Quthb menegaskan bahwa tawaran solusi Islam terhadap persoalan kesenjangan dan ketidakadilan sosial prinsipnya adalah tolong menolong dan keserasian. Quthb juga menjelaskan bahwa kehidupan adalah saling tolong menolong dan bantu membantu, tidak ada pertentangan dan permusuhan. Dorongan agar terdapat situasi saling memberi ditingkat ummat merupakan salah satu sarana lain yang menunjukan bahwa Islam mendorong perwujudan keadilan sosial.

Begitu banyak Ayat-ayat dalam Al Qur-an dan hadis yang merupakan bentuk dorongan Islam dalam menciptakan tatanan masyarakat yang saling memberi karena Allah. Pada surat Albaqarah ayat 261 Allah mengatakan bahwa : “ perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di Jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan pada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Mahamengetahui”. Semenetara Dalam sebuah hadist qudsi, Allah mengatakan: “.....wahai anak adam, Aku minta makan kepadamu tapi mengapa kamu tidak mau memberi-Ku ? anak adam bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku harus memberimu makan, sedangkan engkau adalah Tuhan semesta alam ini’, Allah berfirman: Tidakkah engkau tahu bahwasanya ada seorang dantara hambaku yang meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberiku makan. Tidakkah engkau tahu bahwa manakala engkau memberinya makan maka engkau akan menemukan diri-Ku pada sisinya.....” (HR.Muslim).

Islam tidak menafikan adanya kategorisasi masyarakat berdasarkan kemampuan materi/ekonomi. Islam sendiri menekankan bahwa setiap manusia hanya akan mendapatkan apa yang ia usahakan, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Isra ayat 7 : “jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik pada dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, maka itu untuk dirimu sendiri”. Namun pada tiap-tiap jiwa ummatNya, Allah tanamkan semangat keikhlasan untuk saling memberi. Manusia yang oleh Allah dikarunia kelebihan rizki, maka ia didorong untuk memberikan sebagian kenikmatannya tersebut kepada manusia lain yang membutuhkan.

Ajaran Islam dalam mendorong semangat memberi ini kemudian dilengkapi dengan kehadiran instrumen-instrumen praktis semisal zakat dan infaq. Dengan adanya zakat dan infaq ini, distribusi kesejahteraan dalam masyarakat diharapkan dapat lebih merata. Kesenjangan sosial menjadi tidak terlampau berjarak. Disamping semakin menipisnya jarak dan ketimpangan sosial, instrumen zakat dan infaq ini akan semakin mengukuhkan social bonding (keterpaduan sosial) dalam masyarakat. Hal ini membuktikan betapa Islam tidak hanya menawarkan konsepsi ideal tentang keadilan sosial, namun juga menawarkan kiat praksis dan pedoman perwujudannya.

Momentum Ramadhan

Saat ini ummat tengah menjalani beragam aktivitas agung dibulan ramadhan, dari mulai puasa, tarawih, pengajian, dan lain-lain. Di bulan ini Allah memfasilitasi ummat dan menyediakan bermacam sarana untuk total beribadah pada Allah, dari mulai disediakannya balasan kebaikan yang lebih besar dari bulan-bulan lain hingga kemudahan pelaksanaan ibadah itu sendiri. Saat inilah akivitas syiar Islam gencar dilakukan oleh lembaga-lembaga dakwah di kampus-kampus, di kantor-kantor, dan di masyarakat. Bahkan penuansaan-penuansaan ibadah dalam bulan ramadhan ini amat kental di siarkan oleh media. Hal ini pastinya akan lebih memudahkan masyarakat dalam mengakses beragam informasi tentang nilai keIslaman dan secara langsung maupun tidak, hal ini akan memantik kesadaran iman ummat dan menciptakan kesalehan sosial.

Terkait dengan upaya perwujudan keadilan sosial, ramadhan merupakan momentum yang juga tepat. Ibnu Abbas pernah bercerita bahwa “Rosulullah adalah orang yang dermawan, terlebih apabila memasuki bulan ramadhan. Disaat Jibril menemuinya, ia lebih cepat bermurah hati dalam berbuat kebaikan dibandingkan dengan tiupan angin” (HR Bukhari dan Muslim). Di ramadhan ini, Allah mendorong ummat untuk meningkatkan amal salehnya dengan diiringi janji balasan yang lebih besar dari biasanya. Begitupula dengan penyelenggaraan negara yang adil dan dorongan semangat saling memberi diantara masyarakat, tentunya akan mendapat porsi kebaikan Allah yang lebih besar pula jika dilaksanakan dibulan lain. Kesalehan sosial yang telah dan terus dibangun oleh sebagian ummat dalam ramadhan ini, semoga akan beriringan dengan terciptanya keadilan sosial yang baik. Sehingga, disamping mendapatkan kelezatan ma’nawi di bulan ini, ummat juga akan merasakan kenikmatan hidup ditengah keadilan sosial yang tegak karena ajaran keadilan sosial dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar