Minggu, 28 Desember 2008

Impotensional Penayangan Berita Kriminal

Bhakti Eko Nugroho,

mahasiswa Kriminologi angkatan 2006

Sejak beberapa lama kriminalitas telah menjadi konsumsi masyarakat dan mendapatkan ruang tersendiri dalam pemberitaan media massa. Sekurang-kurangnya, setiap stasiun televisi memiliki satu program berita kriminal dan banyak dari stasiun televisi yang menayangkan program berita kriminal lebih dari sekali dalam sehari[1]. Begitupula jenis media massa dalam bentuk lainnya seperti media cetak. Banyak koran yang menempatkan dan memosisikan dirinya terhadap pemberitaan kriminalitas. Maraknya penayangan berita kriminal meupakan fenomena yang menarik diamati dalam konteks perkuliahan media massa dan kejahatan. Pada salah satu kesempatan kuliah ini, disampaikan bahwa pada dasarnya media massa cenderung meliput dan menayangkan berita atau informasi tentang kejahatan yang mengacu pada subjek kejahatan tertentu, misalnya pelaku, motif, lokasi kejadian, atau korban.

Tulisan ini bermaksud untuk menyoroti fenomena maraknya penayangan berita kriminal oleh media massa televisi dari sisi fungsi dan disfungsi media massa sendiri. Pilihan termin “impotensional” dalam judul makalah ini adalah upaya menyinonimkan istilah disfungsi. Impotensional penayangan berita kriminal yang penulis maksud merupakan kondisi disfungi atau tidak tercapainya suatu kondisi yang diharapkan dan diinginkan dari adanya penayangan berita kriminal tersebut. Secara tekstual, penayangan berita kriminal merupakan salah satu instrumen penting dalam kebijakan kriminal, dimana melalui penayangan tersebut dapat disampaikan nilai dan norma dalam masyarakat sekaligus mempertahankannya. Melalui penayangan berita kriminal ini pula, strategi pencegahan kejahatan sebagai instrumen yang harus ada dalam kebijakan kriminal dapat dipermudah.

Akan tetapi, fungsi tekstual tersebut tidak serta merta diikuti dengan kenyataan dilapangan. Sampai hari ini belum ada pandangan atau teori yang menunjukan hubungan antara maraknya program penayangan berita kriminal dengan menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan yang ada pada masyarakat. Semakin meningkatnya kuantitas program penayangan berita kriminal di televisi tidak serta merta diikuti oleh penurunan tingkat kejahatan di masyarakat. Setidaknya, jika kita mengacu pada fungsi tekstual tadi, dengan maraknya program tayangan berita kriminal yang didalamnya disampaikan berbagai sosialisasi bentuk-bentuk kejahatan dan strategi pencegahannya, yang terjadi seharusnya adalah pengurangan tingkat kejahatan dalam masyarakat. Namun yang terjadi adalah kondisi sebaliknya. Di Jakarta saja, dengan mengacu konteks waktu 2004-2005, berdasar data Polda Metro Jaya, terjadi peningkatan kejahatan sebesar 35%. Sementara jajak pendapat Kompas pada tahun 2002 menunjukan bahwa 65% masyarakat Jakarta merasa tidak aman. Pada 2005, Kompas juga memberitakan meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan di Jakarta.

Hubungan penayangan berita kriminal dengan kriminalitas itu sendiri setidaknya memiliki tiga anggapan; dengan penayangan berita kriminal tersebut (1) tingkat kriminalitas dapat menurun, (2) tidak sama sekali mempengaruhi tingkat kriminalitas, (3) tingkat kriminalitas meningkat. Melalui intepretasi dari data diatas, setidaknya kita mengetahui bahwa keterkaitan antara penayangan berita kriminal dengan angka kriminalitas adalah kemungkinan ke dua atau ke tiga. Dengan mengacu data diatas, penulis menccba menganalis impotensional atau disfungsional penayangan berita kriminal dapat dilihat dari pertama penayangan berita kriminal menciptakan ketakutan (fear of crime) masyarakat, kedua penayangan berita kriminal tersebut cenderung melakukan konstruksi realitas kejahatan secara tidak tepat, ketiga berita kriminal mengajarkan kejahatan, , keempat kejahatan yang diberitakan cenderung semata-mata dijadikan "barang dagang".

Berita kriminal menakuti masyarakat

Penayangan berita kriminal memiliki efek yang sulit terhindarkan, yaitu ketakutan masyarakat. Ketakutan masyarakat yang kita kenal dengan fear of crime merupakan reaksi emosional yang dicirikan dengan perasaan bahaya dan kegelisahan yang dihasilkan dari tantangan kekerasan fisik (Church Council on Justice and Corrections.(1995)). Sebagai upaya ilustratif, tragedi "war of the world", sebuah drama yang disiarkan melalui radio di Amerika pada tahun 1938 yang mengisahkan plenet Bumi diserang pasukan dari Mars telah membuat 1 juta lebih warga AS merasa ketakutan. Warga AS pada waktu itu mengira drama yang disiarkan adalah sungguhan lantaran pengisahannya tampak nyata.

Berita kriminal yang di tayangkan setiap hari di televisi bukan berarti tanpa efek. Mengacu data Kompas yang telah disebut, lebih dari setengah masyarakat Jakarta merasakan ketidak amanan dan ketakutan terhadap kejahatan. Masyarakat setiap harinya disuguhi berita tentang pembunuhan, perampokan, kekerasan, dan kejahatan lainnya yang dapat menanamkan cara pandang masyarakat tentang kehidupan disekitarnya. Mengacu pada teori kultivasi yang digagas oleh Profesor George Gerbner pada 1960 ini, media massa dapat menanamkan nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Berita kriminal yang ditayangkan dengan intensitas yang tinggi memperbesar kemungkinan tertanamnya cara pandang dan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan yang ada diskitarnya.

Menarik pula jika kita mengaitkan hal ini dengan teori self fullfilling prophecy yang digagas oleh Robert K. Merton. Teori ini mengatakan seorang yang mendefinisikan sesuatu sebagai kenyataan, maka konsekuensinya adalah kenyataan. Setelah media massa atau berita kriminal yang ditayangkan menanamkan cara pandang masyarakat mengenai kehidupan sekitarnya yang penuh dengan kejahatan, dan masyarakat mengetahuinya, bisa jadi ketakutan masyarakat ini berbuah menjadi kenyataan dan menjadikan masyarakat benar-benar menjadi korban kejahatan.

Berita kriminal mengajarkan kriminalitas

Melalui social learning theory, Albert Bandura menganggap bahwa media massa sebagai agen sosialisasi yang utama disamping keluarga, sekolah, dan peer group. Sosialisasi yang dilakukan olelh media mencakup hampir seluruh sisi kehidupan masyarakat. Lowery dan Defleur (1983) beranggapan bahwa pesan media merupakan stimuli yang dapat mempengaruhi emosi dan sentimen individu. Pengaruh media dalam sikap dan perilaku dapat dipahami dari modelling theory yang menerangkan bahwa individu menerima perilaku yang ditayangkan oleh karakter dalam isi media, dan pada akhirnya individu akan mengikuti “model” perilaku yang disampaikan oleh media massa. Perilaku individu yang seharusnya maupun yang tidak seharusnya dapat dipelajari secara efektif melalui media. Begitupula perilaku kejahatan atau kriminalitas yang juga dapat dipelajari melalui media. Sutherland melalui diferential association theory-nya menganggap bahwa belajar tingkah laku kejahatan sama halnya dengan belajar tingkah laku lain. Pada point kedua teorinya tersebut, Sutherland mengatakan bahwa kejahatan dipelajari ketika berinteraksi dengan orang lain dalam proses komunikasi.

Taft dan England (1964) secara tegas mengatakan bahwa surat kabar mengajarkan teknik-teknik kejahatan. Jika kita memperhatikan apa yang diblow up oleh berita-berita kriminal di Indonesia, terutama dalam televisi, diterangkan dengan deskripsi yang jelas dan rinci tentang suatu kasus kejahatan yang terjadi, dari mulai motif hingga reka ulang adegan kejahatan. Reka ulang biasanya menggambarkan bagaimana seorang melakukan aksi kejahatan tersebut. Zulkarmein Nasution juga beranggapan bahwa tayangan kejahatan memberikan inspirasi untuk melakukan kejahatan itu sendiri. Tidak sedikit kasus kejahatan yang dilakukan karena pengaruh penayangan berita kriminal itu sendiri.

Ketidakadilan konstruksional terhadap realitas kejahatan

Salah satu bentuk disfungsional media massa kejahatan adalah berita kriminal menyampaikan definisi dan konstruksi terhadap realitas kejahatan dengan proporsi yang tidak tepat. Jika kita mengamati pemberitaan yang ada dalam program-program berita kriminal, terdapat kecenderungan yang mengonstruksi kejahatan sebatas tingkah laku manusia yang merugikan orang lain yang terjadi "dijalanan" dan dilakukan oleh masyarakat kelas bawah dan biasanya dilakukan karena alasan ekonomi.

Konstruksi kejahatan oleh media massa setidaknya sejalan dengan pandangan aliran kriminologi konstitutif terhadap kejahatan. Aliran ini, menurut Pettit (2002), yang dikutip dari “kriminologi-nya” prof. Mushtofa, menjelaskan bahwa pemikiran kriminologi konstitutif dimungkinkan untuk merekonstruksi kebenaran. Terkait dengan kejahatan, menurut kriminologi konstitutif, kejahatan dan pengendaliannya harus ditelaah dalam rangka totalitas konteks semua kebudayaan yang ada. Melalui pandangan ini perlu memperluas pandangan konsep kerugian termasuk semua kekuasaan yang bermaksud menyerang makhluk manusia , tidak semata-mata dibatasi oleh pandangan sempit tentang kejahatan jalanan (Mustofa, 2007). Berdasarkan teori ini, tingkah laku yang dilakukan oleh mereka yang bukan dari kalangan “jalanan” bila memang tingkah laku tersebut merugikan orang lain namun dilakukan dalam bentuk kejahatan inkonvensional, maka tingkah laku tersebut layak dikategorikan sebagai kejahatan; sama halnya dengan tingkah laku penodongan, kekerasan, dan kejahatan jalanan lainnya. Tindakan kaum bisnis dan politisi bila mereka merecoki otonomi yang lain akan dapat dikategorikan dalam isu tindakan yang merugikan (Ibid).

Kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik (Quinney,1970, dikutip di mustofa,2007). Pendefinisian atau konstruksi tingkah laku sebagai kejahatan dilakukan lantaran tingkah laku tersebut dianggap akan mengganggu otoritas kelompok dominan. Kelompok yang memiliki kekuatan dominan tersebut secara lugas hanya ditudingkan kepada kelas penguasa kapitalis (Mustofa, 2007). Kualitas pengetahuan masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat sebagian besar ditentukan oleh nilai tukar berbagai kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan (Garnham, 1979 dikutip di..).

Selanjutnya, media, dalam konteks ini berita kriminal, merupakan instrumen penting yang merekonstruksi kebenaran sekaligus menyempitkan definisi kejahatan itu sendiri dengan tendensi untung rugi elit penguasa dan pengusaha. Sadar atau tidak, berita kriminal telah mengonstruksi cara pandang masyarakat terhadap kejahatan. Jika kita meminta intepretasi pada masyarakat awam tentang apa itu kejahatan, maka kemungkinan besar kejahatan akan diasosiasikan dengan kekerasan, penodongan, pembunuhan, dan kejahatan jalanan lain. Tidak salah memang. Namun adalah suatu ketidakadilan jika berita kriminal tidak secara proporsional menayangkan dan memberitakan kepada masyarakat tentang kejahatan “kerah putih” semacam korupsi, kecurangan para pebisnis, hingga peneluran kebijakan yang tidak pro rakyat. Padahal jika kita melihat dari sisi implikasi, jenis kejahatan kerah putih ini lebih luas dampak merugikannya. Sedikitnya porsi pemberitaan “WCC” dibanding “street crimes” membentuk anggapan yang kedua kurang serius dibanding yang pertama[2].

Berita kriminal sekedar barang dagang; menjual kejahatan

Aliran Frankfrut memandang bahwa media merupakan sarana utama yang dapat mengokohkan kedudukan dan kepentingan segelintir pemodal dan mengabaikan hak banyak orang. Tampaknya seni murni dan bahkan budaya kritik serta perbedaan pendapat pun dapat dipasarkan untuk memperoleh keuntungan, meskipun harus mematikan potensi kritik (Mc Quail,1989). Setiap hal, asal diterima masyarakat akan diliput oleh media lantaran, menurut Mc Quail, komoditi -dalam hal ini berita kriminal- merupakan alat ideologi pertama dalam proses tersebut.

Diawal, penulis telah berupaya menjelaskan betapa berita kriminal telah disukai oleh masyarakat, sehingga media massa pun memberikan ruang yang cukup banyak untuk menayangkan pemberitaan kriminal. Berita kriminal merupakan produk komersil yang cenderung ditayangkan untuk keuntungan (market oriented). Masyarakat menyukai berita kriminal lantaran didalamnya seringkali ditampilkan gambar-gambar yang dianggap menarik bagi masyarakat. Gambar kasus kerusuhan yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu yang berawal dari protes mereka terhadap ketidakadilan PT Freeport, yang ditunjukan dengan gambar “mengamuk-nya” masyarakat Papua menjadi berita utama di berbagai program tayangan berita, begitupula gambar-gambar yang menunjukan adegan serupa yang kerap kali di “head line-kan” oleh berita kriminal. Berita kriminal menayangkan gambar-gambar ini tidak semata-mata media massa kriminal tengah melakukan fungsi informatif dan korelatif. Tetapi terdapat satu hal yang utama yang menjadi tendensional penayangan –semacam gambar kekerasan tadi, yaitu, sekali lagi; “motivasi abadi” elit pengusaha (pemodal); orientasi keuntangan. Gambar-gambar tersebut berpotensi untuk menghadirkan profit yang lebih besar lantaran masyarakat menyukainya.

Budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut (Ibid). Pemberitaan kejahatan yang ada tidak berfungsi sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan permasalahan sosial (kejahatan), melainkan sebatas komersialisasi dan komoditasi kejahatan. Dari sinilah, berawal pelanggaran-pelanggaran terhadap etika-etika peliputan. Demi gambar yang lebih sensasional dan ditonton lebih banyak orang, beria kriminal seringkali tidak melakukan penyensoran terhadap gambar-gambar yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, hingga wajah pelaku kejahatan.

Mencari akar masalah

Media massa merupakan sistem yang terkait dengan sistem sosial yang ada pada masyarakat. Kehadiran media massa dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang ada dalam masyarakat. Pemikiran tentang sistem sosial harus meliputi semua jenis kehidupan kolektif (Ritzer dan Godman, 2003). Sistem media massa merupakan bagian dari sistem sosial, sehingga antara ia dengan sistem lainnya pasti terdapat hubungan kausilitas. Pada Ritzer dan Godman (2003), Talcott Parsons mengatakan bahwa sistem sosial harus di terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (Parsons, 1966). Karena keterkaitan ini pula, banyak kita ketahui teori yang menghubungkan antara media massa dengan ekonomi, politik, dan konteks sosial lain[3]. merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut (Ibid)

Bentuk sistem media massa yang ada pada suatu masyarakat dipengaruhi besar oleh sistem yang "berjingkrang" pada masyarakat itu[4]. Pada masyarakat yang menggunakan sistem ekonomi-politik yang cenderung sosialis, maka kita akan dapati sistem media massanya cenderung bersistem otoriter. Sedangkan bagi masyarakat yang cenderung bersifat liberal dan memandang penting hak kepemilikan dan kebebasan, maka sistem media massa yang berlaku dapat di pastikan bersifat liberal.

Penulis menganggap, sistem media massa yang terlaksana di Indonesia cenderung bersifat libertarian. Sistem media massa Liberatarian memang memiliki fungsi tekstual normatif. Menurut Siebert, fungsi pers liberal menitik beratkan superioritasnya pada prinsip kebebasan pers. Namun, ada hal yang perlu di cermati dalam fungsi sistem pers liberal ini. Pers dalam sistem libertarian mengabdi kepada sistem ekonomi, terutama dengan jalan mempersatukan para pembeli dan penjual barang dan jasa melalui media periklanan (Efendi, 2003).

Impotensionalitas penayangan berita kriminal menurut hemat penulis merupakan implikasi dari sistem, baik sistem media massa itu sendiri maupun sistem ekonomi-kemasyarakatan yang berjingkrang. Sifat ke-liberal-an media massa di Indonesia merupakan akar masalah yang menyebabkan tujuan normatif yang terdapat dalam program-program tayangan berita kriminal menjadi impoten. Strategi pencegahan kejahatan dan penanggulangannya yang diharapkan menjadi konsekuensi positif penayangan berita kriminal malah menghasilkan suatu kondisi yang ambivalen; berita kriminal malah menakuti masyarakat, mengonstruksi kejahatan secara tidak proporsional, dan menjual kejahatan. Konsekuensi logis dari sistem pers liberal adalah setiap penayangan berita kriminal –juga tayangan lain hanyalah ditujukan dan diorientasikan kepada profit dan pertimbangan yang digunakan bukanlah manfaat dan efek dari penayangan, melainkan pertimbangan untung dan rugi. Pada akhirnya, impilkasi negatif dari penayangan berita kriminal ini tak terhindarkan.

Pandangan Solutif

Perlu kiranya memperhatikan hubungan antara negara dan media massa. Dalam konteks ini, kita menemukan situasi yang dilematis; antara kebebasan pers dan perbaikan kehidupan masyarakat. disatu sisi, kebebasan pers merupakan situasi yang pada dasarnya harus dimiliki, karena media massa merupakan salah satu pilar dalam upaya proses demokratisasi. Akan tetapi, kebebasan media dilapangan tidak selalu memiliki korelasi positif atau implikasi yang linear; bahwa kebebasan media akan mendukung upaya demokratisasi.

Kebebasan media selama ini tidak selamanya membawa “keberkahan” bagi upaya demokratisasi. Beragam penayangan dalam media massa malah menimbulkan efek negatif dalam masyarakat dan media massa cenderung mengkonstruksi sikap dan cara berpikir yang tidak kritis dalam masyarakat yang pada akhirnya sama sekali tidak mendukung dan tidak berpengaruh terhadap pembentukan situasi kearah yang lebih demokratis. Penayangan berita kriminal yang tidak berimplikasi terhadap pencapaian solusi permasalahan kemasyarakatan –kejahatan- merupakan suatu keadaan yang bukan diharapkan dari kebebasan media.

Pada akhirnya upaya pengawasan negara terhadap media mutlak diperlukan, bukan dalam konteks membungkam media, namun dalam semangat melindungi kepentingan masyarakat dan membangunnya. Perlu kehadiran regulasi yang baik yang mampu meminimalisasi peluang-peluang terjadinya disfungsional penayangan berita kriminal. Penayangan berita kriminal merupakan instrumen penting dalam mendukung perumusan kebijakan kriminal. Dari sini masyarakat dan pemerintah dapat mengetahui kondisi situasi lingkungan sosialnya. Akan menjadi tidak berarti kebijakan-kebijakan kriminal yang dikeluarkan, jika penayangan-penayangan berita kriminal tidak mampu mempengaruhi pengurangan tingkat kejahatan. Regulasi-regulasi yang ditujukan untuk pengaturan penayngan berita kriminal memang sudah ada. Namun regulasi yang ada sebatas mengatur hal-hal teknis[5] , dan belum menyentuh hal-hal yang substantif; misalnya regulasi yang mengatur agar bagaimana program berita kriminal tidak memberikan konstruksi yang tidak adil terhadap kejahatan dan tidak menakuti masyarakat. selanjutnya, setelah regulasi ini dimunculkan, upaya sosialisasi, fasilitasi, dan penerapan sanksi bagi yang melanggar harus sungguh-sungguh dilaksanakan.

Referensi

Buku

Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa; suatu pengantar, Erlanga. Jakarta, 1989

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti. Bandung, 2000

Mustofa, Muhammad. Kriminologi; kajian sosiologi terhadap kriminalitas, perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum, FISIP UI press. Depok, 2007

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J.Teori Sosiologi Modern, Prenada Media. Jakarta, 2005

Jurnal

Blue Print Pembangunan Ibu Kota: sumbangsih kampus untuk Jakarta dengan judul : Menciptakan Jakarta Bebas dari Kejahatan oleh Tim guru besar Departemen Krminologi FISIP UI.

Makalah

Sulhin, Iqrak. News Making Criminology; sebuah pandangan aksi-reaksi

Nugroho, Eko Bhakti. Cultivation Theory

Bahan ajar mata kuliah media massa dan kejahatan



[1] Dipenghujung 1990-an, Indosiar memelopori program penayangan berita kriminal “Patroli”. Baiknya tanggapan masyarakat terhadap program ini, stasiun TV lain membuat program penayangan berita kriminal serupa, dimana SCTV memiliki program “Buser”, ANTV memiliki program penayangan berita kriminal yang lebih investigatif “Fakta”. Selain yang telah disebutkan diatas, hari ini terdapat beberapa program berita kriminal lain, program “Sidik” ditayangkan di TPI, program “Jejak kasus” di Indosiar, “TKP” di Trans 7, “Sergap” di RCTI. Adapula beberapa program lain, namun saat ini tidak lagi ditayangkan.

[2] Pandangan Iqrak Sulhin pada makalah yang berjudul newsmaking criminology; sebuah penafsiran antara kritik dan aksi.

[3] Dalam buku Teori Komunikasi massa; suatu pengantar, Denis Mc Quail Menjelaskan teori-teori media massa yang berhubungan dengan konteks kemasyarakatan pada Bab 3 yang berjudul teori media massa dan teori masyarakat. Teori-teori ini antara lain teori media politik-ekonmomi, teori kritik, dan teori hegemoni media.

[4] Tiga orang cendikiawan Amerika, masing-masing Fred S. Siebert, Thedore Peterson, dan Wilbur Schramm (Efendi, 1993). Mereka menjelaskan bahwa terdapat empat teori media massa; (1) Authoritian theory, (2) libertarian theory, (3) Soviet Communist Theory, (4) Social Responsibility Theory. Teori-teori yang mereka ajukan yang dikenal dengan sebutan Four Theories of the Press adalah teori yang mencoba menghubungakan antara pengaruh system yang ada pada masyarakat dengan system media massa.

[5] UU Pers yang berlaku saat ini banyak mengatur hal-hal yang bersifat teknis dalam sisem media massa. Disana banyak regulasi yang mengatur, misalnya, bagaimana seharusnya mengambil gambar yang diperbolehkan agar tidak bertentangan dengan norma masyarakat. regulasi ini merupakan rumusan kode etik yang tertuang dalam UU pers. UU Pers yang berlaku saat ini di Indonesia antara lain UU No.21 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, UU No. 40 tahun 1999, dan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran.

2 komentar: