Minggu, 28 Desember 2008

Menanyakan Keadilan BOP Berkeadilan

Bhakti Eko Nugroho

Saya mencoba membuka tulisan ini dengan satu cerita yang pernah dikisahkan seorang kawan dalam suatu kesempatan diskusi. Alkisah, suatu saat kawan ini bertemu dengan seorang Mahasiswi Baru UI angkatan 2008 asal Magelang bersama ayahnya, di kantin asrama UI. Sang ayah bercerita pada kawan ini bahwa sebenarnya, putri kebanggaannya telah di terima di Fakultas Teknik UGM. Namun sang anak lebih memilih untuk kuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan FIB UI. Ia memilih kuliah di UI lantaran ‘provokasi’ para senior SMA-nya yang telah lebih dahulu masuk di UI yang mengatakan kepadanya untuk tidak takut masuk UI, karena selain UI memiliki fasilitas pengajaran yang relatif baik dibanding dengan PTN lain di Indonesia, para seniornya juga menegaskan untuk tidak manjadikan biaya kuliah sebagai hambatan untuk kuliah di UI. Para seniornya tersebut menjelaskan bahwa UI menyediakan pelayanan khusus bagi mahasiswa yang tidak mampu untuk mendapatkan hak keringanan dalam pembayaran Uang kuliah. Pertimbangan lain dari para senior mahasiswi baru asal Magelang ini agar ia memilih UI ialah fasilitas penunjang kebutuhan lain di kampus UI yang cukup memadai dan terjangkau, seperti asrama.

Akan tetapi, setelah ia memutuskan untuk memilih UI dan berangkat ke Depok, mahasiswi baru ini nampaknya menemukan satu kenyataan yang berbeda antara apa yang ia ketahui dari para seniornya, dengan kenyataan yang ia temui di lapangan. Mahasiswi baru dan sang orang tua sempat merasakan kebingungan yang sangat, karena ternyata UI menerapkan sistem pembayaran baru yang menuntut proses yang rumit dan minimnya sosialisasi yang jelas. Anak dan ayah ini harus mengikuti kerumitan proses penentuan besaran biaya kuliah hingga pukul satu pagi dini hari. Kenyataan tidak ramah lainnya yang ia temui di lapangan ialah saat ia tidak mendapatkan fasilitas asrama, sebuah tempat hunian yang murah dan terjangkau yang di idamkan. Ia tidak mendapatkan fasilitas asrama karena jumlah penghuni asrama kini di batasi berdasarkan kuota tertentu.

Kenyataan tersebut jelas memicu keresahan seluruh teman yang terlibat diskusi saat itu. Apa yang di alami oleh teman mahasiswi Magelang tersebut memang merupakan permasalahan yang kasuistis. Tidak bijak memang jika kemudian kita melakukan generalisasi bahwa sistem pembayaran biaya kuliah dan jalur masuk di UI yang baru ini dan akrab disebut dengan BOP berkeadilan, merupakan sistem yang bermasalah. Akan tetapi, kenyataan tersebut setidaknya memantik kesadaran kritis kita untuk terus menemukenali sistem baru ini, mengkaji lebih dalam, dan kemudian menyampaikan kriitik-konstruktif bagi keberlanjutan sistem ini, sehingga nantinya kita dapat merumuskan satu sikap baru untuk tetap mendukung keberlanjutan sistem baru ini, atau sebaliknya, merombak sistem ini secara fundamental dan merumuskan formula sistem lain yang nyata keadilannya dari mulai tataran filosofis hingga implementasi.

Falsafah Berkeadilan

BOP (Biaya Operasional Pendidikan) Berkeadilan merupakan mekanisme baru dalam sistem pembayaran biaya kuliah di UI yang mencoba mengedepankan prinsip keadilan, dan telah mendapatkan legalisasi melalui Keputusan Rektor UI nomor 432A/SK/R/UI/2008. Penjelasan diksi “berkeadilan” dalam sistem baru ini dapat kita temui pada poin C bagian konsideran SK tersebut yang mengatakan bahwa besaran biaya pendidikan yang berkeadilan didasarkan pada kemampuan keuangan penanggung biaya pendidikan. Pemahaman ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Ketua BEM UI Edwin N Naufal pada situs resmi BEM UI. Ia mengatakan bahwa BOP Berkeadilan menekankan pada asas keadilan. Dalam sistem ini mahasiswa akan dikenakan biaya pendidikan yang jumlahnya disesuaikan dengan tingkat kemampuan keuangan.

Ringkasnya, sistem baru ini tidak menentukan besaran pasti atau keseragaman jumlah BOP yang harus dibayarkan oleh mahasiswa. Tiap-tiap mahasiswa akan membayar besaran BOP sesuai kemampuan ekonominya masing-masing yang akan terukur pada perangkat form penentuan besaran BOP. Tapi yang pasti, dalam pasal 2 SK Rektor UI nomor 432A tahun 2008 menjelaskan bahwa pembebanan besaran BOP yang ditanggung oleh penanggung biaya per semester berkisar antara Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) hingga Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk rumpun ilmu sosial dan humaniora, antara Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) hingga Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk rumpun kesehatan dan rumpun sains dan teknologi. Pembedaan jumlah BOP yang harus dibayarkan akan di tentukan pada data mahasiswa berupa penghasilan orang tua, jumlah tanggungan biaya listrik, biaya telepon, dan lain-lain. Data ini akan di gunakan dalam rumusan penghitungan tertentu yang kemudian akan menentukan besaran BOP yang akan di bayarkan.

Secara filosofis, semangat yang ada dalam sistem baru ini tentunya sangat luhur: menerapkan prinsip keadilan. Namun benarkah prnsip keadilan dalam sistem baru ini benar-benar terimplementasikan dalam tataran praktik. Kenyataannya, prinsip keadilan dalam sistem ini tercemari oleh kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya. Permasalahan dalam pelaksanaan yang cukup mendapat sorotan adalah tidak baiknya sosialisasi tentang sistem ini sendiri. Dalam situs resmi UI, besaran biaya pendidikan di UI yang ditampilkan adalah besaran pada batas atas. Adanya fasilitas keringanan bagi mereka yang tak sanggup membayar bearan tersebut tidak mendapat ruang publikasi yang cukup. Adilkah ini?..

Menentukan akar masalah: penyelewengan sistem atau kebobrokan sistem

Kanyataan permasalahan pelaksanaan model pembayaran BOP berkeadilan dalam tataran operasional, sejatinya mendorong kita untuk mengkaji ulang sistem baru ini. Benarkah BOP berkeadilan telah baik secara sistem dan prinsip namun kendala berupa penyelewengan disana-sini oleh oknum birokrasi sematalah yang memicu disorientasi prinsip BOP Berkeadilan. Jika logika ini yang di gunakan, maka solusi yang perlu di tawarkan adalah sebatas desakan kepada pimpinan UI untuk melakukan fungsi kontrol yang sebaik-baiknya. Namun, kenyataan permasalahan BOP berkeadilan di lapangan seharusnya pula mengajak kita untuk berpikir lebih radikal (mendasar: baca) dari sekedar menyoroti adanya penyelewengan atau pelanggaran sistem, yaitu mencermati ada tidaknya kebobrokan sistem.

Penulis mencatat sedikitnya terdapat tiga hal substanstif yang memantapkan sikap penulis untuk memosisikan diri sebagai bagian yang mendukung dilakukannya kajian ulang atas model pembayaran BOP berkeadilan. Pertama model pembayaran BOP dengan prinsip berkeadilan merupakan ‘paket’ marginalisasi atas aksesibilitas masyarakat miskin dalam mendapatkan pendidikan di UI. BOP berkeadilan digulirkan dengan diiringi perangkat-perangkat lain yang membatasi akses masyarakat untuk mengikuti proses pendidikan di UI. Perangkat-perangkat yang mengiringi adalah kebijakan jalur masuk UI, seperti lebih besar porsi UMB (Ujian Masuk Bersama) daripada SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pelaksanaan model penerimaan mahasiswa melalui UMB yang hanya dilakukan di beberapa titik di kota besar di Indonesia jelas menciptakan akses yang tidak merata bagi masyarakat yang tersebar diseluruh Indonesia. Model penerimaan jalur masuk melalui SNMPTN lebih dilakukan di lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga aksesibilitasnya lebih meluas. Namun, proporsi penerimaan mahasiswa melalui SNMPTN tak lebih dari 20%, sedangkan proporsi penerimaan mahasiswa melalui UMB adalah tak kurang dari 80%. Besaran proporsi yang tidak berimbang antara UMB dan SNMPTN ini jelas merupakan seleksi finansial pertama kepada masyarakat yang dilakukan oleh UI. Pelaksanaan UMB di kota-kota besar bisa jadi hanya dapat diikuti oleh masyarakat yang tinggal di kota tersebut atau daerah di sekitarnya, yang sudah barang tentu memiliki kemampuan finansial yang lebih baik di banding kemampuan finansial masyarakat yang tinggal di pelosok Indonesia. Sebagai ilustrasi, akses masyarakat Indonesia yang tinggal di pedalaman Kalimantan atau Papua tentunya akan semakin tereduksi oleh penerimaan mahasiswa UI melalui jalur UMB, karena sulitnya mengakses lokasi pelaksanaannya.

Dengan adanya pre-seleksi finansial dalam penerimaan mahasiswa yang diskriminatif melalui UMB, menjadikan model pembayaran dengan prinsip BOP berkeadilan seperti pepesan kosong. Ketika kelas masyarakat yang diterima di UI adalah kelas masyarakat menengah-atas, maka BOP berkeadilan tidak akan berimplikasi apa-apa untuk keadilan itu sendiri. Yang ada adalah UI akan lebih banyak menerima pemasukan dalam neraca keuangan dari sektor pembayaran BOP yang diperoleh dari kelas masyarakat menengah-atas dengan telah terseleksinya kelas masyarakat miskin melalui proses UMB. Jika BOP berkeadilan benar-benar dilaksanakan atas dasar semangat keadilan, maka akses bagi seluruh masyarakat Indonesia harus benar-benar dibuka selebar-lebarnya dengan mengedepankan seleksi intelektual tanpa adanya seleksi finansial.

Hal mendasar kedua yang merupakan persoalan substanstif dari sistem BOP berkeadilan adalah menyangkut esensi dari BOP berkeadilan yang pada dasarnya telah tertera pada sistem sebelumnya. Jika yang dimaksud dengan prinsip berkeadilan dalam sistem BOP adalah tiap mahasiswa membayar sesuai dengan kemampuannya, dan muncul harapan agar mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan finansial tetap memperoleh haknya untuk mengikuti proses pendidikan di UI dengan memperoleh subsidi silang dari mahasiswa yang memiliki kemampuan finansial, maka esensi ini telah berlangsung pada sistem besaran dan mekanisme pembayaran BOP sebelumnya. Dalam sistem sebelumnya, dimana besaran BOP yang harus dibayarkan oleh mahasiswa UI S1 reguler adalah dengan kisaran 1.225.000 (rumpun ilmu sosial) – 1.475.000 (rumpun ilmu alam). Akan tetapi, mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar BOP dengan besaran tersebut tetap berhak mendapatkan pengurangan besaran BOP yang harus dibaarkan. Penulis mengetahui dan menyaksikan langsung rekan-rekan mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan membayar full BOP dalam sistem sebelumnya dapat memperoleh keringanan dalam pembayaran besaran BOP. Kehadiran sistem BOP dengan prinsip berkeadilan, pada dasarnya bukanlah hal yang baru. Sistem ini lebih berorientasi pada upaya UI untuk meraih pemasukan dengan membebankan kepada masyarakat. Eksplisitasnya, sistem baru ini lebih pantas disebut sebagai kenaikan BOP ketimbang sebutan ‘penyesuaian’ atau janji ‘berkeadilan’ dalam sistem baru ini.

Hal substansi ketiga yang perlu kita perhatikan adalah bahaya sistem ini dalam jangka panjang. Pendidikan sejatinya tetaplah hak. Bahkan negara inipun hadir dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap masyarakat, apapun kemampuan ekonominya, miskin-kaya, tinggal di kota maupun desa, memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan. Kita sadar betul betapa negara inipun belum benar-benar memiliki keinginan kuat dalam membangun pendidikan. Parameternya adalah semakin menciutnya peran negara dalam mengintervensi pendanaan pelaksanaan pendidikan. Biaya operasional pelaksanaan pendidikan selanjutnya diserahkan kepada institusi pendidikan itu sendiri dan masyarakat. Apesnya, pimpinan UI malas berpikir dan bekerja keras. Dalam upaya memperoleh dana guna pembiayaan operasional pendidikan, pimpinan UI lebih memilih cara paling mudah: yaitu membebankan sebagian besar porsi pemasukan dari masyarakat.

Kehadiran UMB dan KSDI sangat memungkinkan lebih besar peluang kelas menengah-atas masyarakat dalam menikmati pendidikan di UI. Mekanisme BOP berkeadilan akan mengarahkan kelas menengah-atas dari masyarakat membayar besaran BOP yang lebih mahal, bahkan hingga batas atas. Dengan asumsi besaran BOP yang harus dibayarkan adalah Rp. 7.500.000,00 (batas atas) setiap semester, maka total biaya yang harus di keluarkan mahasiswa selama 8 semester (asumsi empat tahun kuliah) adalah Rp.60.000.000,00. Artinya, mahasiswa yang membayar BOP dengan batas atas harus mengeluarkan jumlah rupiah yang sangat besar dalam menyelesaikan keseluruhan aktivitas pendidikannya selama di UI. Adapun yang penulis sebut sebagai implikasi berbahaya dari sistem ini adalah masyarakat akan menilai biaya yang di keluarkan dalam memperoleh pendidikan di UI sebagai modal atau investasi atas dririnya dimasa depan. Sehingga ketika ia lulus dari kampus ini, orientasi dalam setiap aktivitasnya dalam masyarakat adalah bagaimana agar modal dan besaran uang yang dikeluarkan untuk pendidikannya dahulu dapat kembali. Orientasi mahasiswa lulusan kampus model ini akan menjadi masyarakat yang ‘profit oriented’ dan individualistis. Berat rasanya membayangkan mahasiswa lulusan kampus mahal Universitas Indonesia menjadi masyarakat yang tulus memberikan ilmu yang ia dapat dengan tulus, sebab dikampus ia diajarkan bahwa ilmu haruslah dibeli dengan mahal.

Mari Bergerak

Mengkaji ulang baik-buruk sistem ini dengan melibatkan seluruh elemen gerakan mahasiswa UI yang ada, baik elemen intra maupun ekstra kampus, adalah jawaban yang semestinya. Dengan tujuan tulus dan tanpa adanya tendensi subyektif kepada siapapun, gerakan menanyakan kembali keadilan BOP berkeadilan harus dibangun saat ini juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar