Minggu, 28 Desember 2008

Mereka Berperang untuk Agama

Mereka Berperang untuk Agama

Bhakti Eko Nugroho

Mahasiswa Kriminologi UI

Suatu saat dosen Filsafat saya bertanya: mengapa banyak orang berperang atas nama agama?.. Saya kemudian langsung menempatkan diri untuk tidak sepakat pada arah pertanyaan tersebut, yaitu penggugatan atas eksistensi religiusitas dan sakralitas ketuhanan dalam perjalanan panjang sejarah hidup umat manusia dengan beragam nilai yang ada, termasuk religiusitas dan ketuhanan. Pergolakan, pertempuran, dan tumpahnya darah dalam sejarah panjang kehidupan manusia merupakan upaya memperjuangkan dan mempertahankan berbagai nilai. Tak hanya nilai-nilai yang bersifat afektual dan metafisikal, namun pertumpahan darah juga terjadi lantaran dipicu oleh nilai-nilai rasionalitas dan pengetahuan.

Rasionalitas dan kemajuan pengetahuan setelah pencerahan yang pada mulanya diharapkan membawa tatanan dunia dan kedamaian baru, ternyata tidak menjadikan wajah dunia baru yang diharapkan. Perang Perancis-Prusia pada priode waktu 1870-1871 menunjukan dimensi jahat ilmu pengetahuan, yaitu efek teror dan menakutkan dari terciptanya persenjataan modern. Pascaperang perang Perancis-Prusia, negara-negara Eropa berlomba menciptakan senjata modern, dan secara tidak langsung menjadi salah satu pemicu meletusnya perang dunia I. Seakan mereka melihat perang sebagai proses seleksi dalam teori darwin; hanya yang baik yang akan hidup[1]. “Rasisme ilmiah” tersebut juga memicu gerakan antisemit di berbagai negara Eropa, sehingga sampailah pada hilangnya 6 juta nyawa Yahudi dalam Holocaust dan 10.000 Yahudi lainnya mengungsi. George Steiner mengatakan Antara tahun 1914 dan 1945, 70 juta manusia mati mengenaskan. Parang dunia II (1939-1945) juga meninggalkan sisi gelap ilmu pengetahuan saat dijatuhkannnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pembenaran ilmiah-pun banyak dilontarkan dari para scientis. Sigmund Freud misalnya, mengatakan bahwa keinginan sadar terhadap kematian seseorang adalah hal yang dapat membangkitkan motivasi manusia sebagaimana eros dan prokreasi. Sehingga secara perlahan, ketakutan muncul dari peradaban yang mereka ciptakan sendiri. Dan pada akhirnya, prestasi rasionalitas dan pengetahuan mambawa kehampaan tersendiri dalam kehidupan manusia. Ringkasan sejarah diatas merupakan bukti bahwa nilai-nilai rasionalitas dan ilmu pengetahuan murni (logos) tanpa diimbangi dengan nilai metafisikal (mitos) akan membawa efek destruktif yang dasyhat dan hilangnya nyawa manusia.

Sisi jahat rasionalitas dan pengetahuan tak hanya ancaman fisik seperti diciptakannya persenjataan modern dan peperangan. Namun rasionalitas dan pengetahuan telah memaksa dunia menerima satu nilai baru; yaitu rasionalitas. Nilai-nilai afektual dan metafisikal dianggap kering dan tak bermakna, setidaknya ketika banyak pemikir, seperti Nietzche, memproklamasikan kematian tuhan. Feuerbach menggagas tesis bahwa teologi kristiani telah mengasingkan manusia dari esensinya. Atau saat Freud mengatakan bahwa; “musuh saya sesungguhnya bukanlah nazi, melainkan agama”[2]. Augus Comte (1798-1857) menjelaskan bahwa perkembangan sejarah yang paling unggul adalah tahap positif ilmiah, dimana menusia berhenti mencari penyebab absolut, baik tuhan maupun ‘nature’ serta mulai berkonsentrasi pada observasi dunia sosial dan fisik dalam mencari hukum-hukum mereka[3]. Disinilah titik dimana rasionalitas mengusik keyakinan kalangan agama. Moralitas ketuhanan banyak mendapatkan kritik. Umat Kristen menganggap kritik ilmiah bahwa ‘Yesus tidak mungkin dilahirkan oleh seorang perawan’ merupakan bentuk penyangkalan pada alkitab. Tradisi modernitas juga telah mengubah tatanan masyarakat yang memisahkan antara ‘gereja’ dan ‘negara’ serta membawa mereka pada periode waktu yang teror dan menakutkan; yaitu peperangan. Bagi umat Yahudi, rasionalitas telah membawa mereka pada petaka dalam arti yang sesungguhnya. Rasionalitas rasial ala darwinisme telah memicu dilakukannya gerakan pembersihan etnis pada era-Nazi di Jerman, dimana jutaan yahudi kehilangan nyawa. Bagi umat Islam, rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan modernitas tidak hanya mengusik moralitas ketuhanan, namun telah mencabut nilai tradisi dalam kehidupan umat Islam. Akhlak al-karimah[4] telah berubah menjadi tradisi pop ala barat.

Darisinilah berbagai reaksi muncul dari kelompok agama. Terdapat reaksi yang moderat, mencoba menyelaraskan agama dengan rasionalitas, namun ada pula reaksi radikal. Penghujung abad 19 tak bisa dilepaskan dari nilai modernitas, rasionalitas, dan pengetahuan. Sebab itulah sekelompok umat protestan bertekad menjadikan agama mereka rasional dan ilmiah. Mereka menoleh kebelakang pada masa awal visi ilmiah Francis Bacon yang menyakini bahwa dunia diciptakan berdasarkan prinsip-prinsip rasional oleh tuhan yang maha tahu, dan tugas ilmu pengetahuan bukanlah membuat dugaan-dugaan tanpa dasar melainkan mengumpulkan fenomena dan menyusun temuan-temuannya kedalam teori yang berdasarkan fakta yang nyata bagi semua orang[5]. Muhammad Abduh (1849-1905) merupakan representasi umat Islam yang mencoba menyelaraskan religiusitas dengan rasionalitas. Abduh berencana mengadakan revisi besar-besaran terhadap hukum Islam agar sesuai dengan kondisi modern. Ia menganggap penting pengaitan antara hukum dan konstitusi modern dengan nilai tradisi Islam.

Reaksi radikal juga muncul dari kalangan agama. Tahun 1920, William Jennings Bryan (1860-1925) menggalang kampanye penentangan teori darwinisme disekolah. Tak hanya karena darwinisme mengusik moralitas ketuhanan, namun karena darwinisme bertanggung jawab terhadap teror perang dunia I. Zionisme yahudi merupakan reaksi radikal umat Yahudi. Asher Ginsberg (1856-1927) mengatakan bahwa bangsa Yahudi harus menyikapi modernitas dengan mengembangkan cara berpikir yang rasional. Dan menurutnya, semangat rasional tersebut hanya dapat terbentuk di tanah suci Palestina. Hanya saja, semangat rasional untuk kembali ke palestina, bangsa Yahudi harus berbenturan dengan kenyataan peperangan Arab-Israel tahun 1948 dan pengusiran terhadap 750.000 muslim Palestina. Jamaludin Afghani menggagas misi panislamisme, yaitu menjadikan kaum muslim didunia dibawah bendera Islam dan menggunakan agama untuk melawan ancaman imperialisme barat. Pandangan Afghani dikuatkan oleh Abu A’la Maududi, yaitu gagasan jihad universal. Maududi menganggap bahwa jihad adalah perjuangan revousioner untuk merebut kekuasaan demi kebaikan seluruh umat manusia.

Keterusikan atas moralitas ketuhanan dan ancaman fisik merupakan pemicu yang mendesak kalangan agama melakukan reaksi. Selanjutnya, fundamentalisasi tradisi keagamaan adalah upaya praksis penyelamatan diri. Tertumpahnya darah kalangan agama adalah upaya mempertahankan moralitasnya, bukan menjadikan agama sebagai kedok barbarian religiusitas.



[1] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi,Mizan, hal 211.

[2] Donny Gahral Adian; Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra. Hal 7

[3] Ibid. Hal 26

[4] Perbuatan, sikap, dan tingkah laku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam.

[5] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi,Mizan, hal 218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar