Minggu, 28 Desember 2008

Mitos Globalisasi

Bhakti Eko Nugroho,
mahasiswa Kriminologi UI

Paradigma modernisasi dari teori-teori independensia pada mulanya dianggap dapat menjadikan tata dunia yang lebih sejahtera. Sebab melalui globalisasi-lah, persebaran dan transnasionalisasi modernisasi dapat dilakukan. Alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang merupakan proses yang dianggap sebagai suatu yang aksioma. Pemahaman ini beriringan sekaligus mengacu pada teori modernisasi yang dijelaskan oleh Rostrow, yang lazim disebut teori the stage of economic growth. Menurut teori ini, secara alamiah masyarakat akan berkembang dan senantiasa berevolusi dalam mengatur kehidupan perekonomiannya menuju cita-cita kesejahteraan hidup. Dalam pandangan Rostrow ini, tahap perkembangan masyarakat pertama-tama adalah masyarakat tradisional, kemudian mengalami perkembangan menjadi masyarakat pra-lepas landas, dan kemudian menuju tahapan terakhir perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat lepas landas. Terdapat banyak kriteria yang dijelaskan Rostrow mengenai masyarakat lepas landas ini. Salah satu ciri yang dijelaskan adalah terdapatnya perluasan pasar dan terjadi penjualan antar negara. Implisitas dari teori Rostrow dapat kita cermati sebagai upaya menjelaskan bahwa perkembangan ekonomi suatu masyarakat haruslah sejalan dengan ide modernisasi dan proses transnasionalisasi. Disamping itu, paradigma ini mengartikan proses modernisasi sebagai suatu proses bekerja kekuatan universal.

Kritik atas teori modernisasi ini muncul dari kalangan neo-marxian. Kelompok ini seringkali disebut dengan kelompok yang mengajukan paradigma depedensia. Menurut paradigma ini, praktik dan pengejawantahan dari ide modernisasi tidak menunjukan keadaan yang dicita-citakan oleh paradigma modernisasi. Menurut paradigma depedensia, pengejawantahan teori modernisasi hanya mengakibatkan kondisi negara berkembang semakin menurun karena ketergantungan kepada modal. Alih teknologi hanya menjadi suatu yang artifisial dan terbatas: yaitu hanya terjadi pemidahan teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Masyarakat negara berkembang hanya dibekali kemampuan praktis dalm mengoperasionalisasikan teknologi dan sama sekali tidak terdapat transfer knowledge dalam prosesi alih teknologi. Paradigma depedensia juga menilai bahwa teori modernisasi memposisikan struktur negara berkembang sebagai akumulasi kapital negara maju. Sehingga surplus ekonomi hanya dapat dinikmati oleh negara maju. Pada akhirnya, praktik-praktik dari teori modernisasi dianggap sebagai imperialisme ekonomi sebab menciptakan dominasi negara maju dan ketergantungan yang laten negara berkembang terhadapnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa modernisasi erat kaitannya dengan globalisasi. Sehingga persoalan yang hendak dikaji dalam essai ini adalah menarik implisitas perdebatan kedua paradigma (modernisasi dan depedensia) mengenai globalisasi. Pertanyaan pokok yang coba dijawab kemudian adalah benarkah globalisasi, yang oleh Rostrow dianggap sebagai suatu yang aksioma, dapat ‘mengglobalkan’ keadilan dan kesejahteraan?

Globalisasi : definisi dan mitos

Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai proses yang ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, dimana peristiwa yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri disuatu tempat[1]. Begitu juga sebaliknya, peristiwa yang terjadi didalam negeri akan turut memberikan kontribusi atas stabilitas di negara lain. Ia juga menekankan bahwa globalisasi identitk dengan barat. Giddens (2002) mengatakan bahwa globalisasi adalah restrukturisasi cara-cara kita menjalani hidup dan dengan cara yang sangat mendalam. Ia berasal dari barat, membawa kekuasaan ekonomi dan politik Amerika[2]. Wallerstein (1974) mendefinisikan globalisasi sebagai sebagai ‘proses integrasi tiada akhir’, tidak hanya terjadi dalam domain ekonomi, melainkan juga dalam domain budaya dan identitas[3]. Wallaerstein melihat bahwa kesulitan utama ketika kita melihat globalisasi adalah konsep batas (boundary)[4]. Sebagai suatu proses universal, oleh Wallarsten, proses ini dianggap telah bergerak bebas melewati batas-batas fisik dan imajiner suatu bangsa dan negara.

Kellner, sebagai seorang neo-marxian, mengatakan bahwa kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus restrukturisasi global kapitalisme[5]. Artinya, kellner menilai kemajuan teknologi informasi sebagai ciri tersendiri dari globalisasi. Sementara Ritzer memiliki definisi yang unik terhadap fenomena globalisasi ini. Ia mengidentikan globalisasi sebagai proses mcdonaldisasi –sebuah proses global amerikanisasi dan westernisasi. Namun penekanan Ritzer (2004) dalam mendefinisikan globalisasi adalah: globalisasi adalah bukan-sesuatu[6]. Argumen dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingless keseluruh penjuru dunia, yang dicirikan oleh konsepsi dan kontrol terpusat, kurangnya isi yang distingtif, generik, kurangnya ikatan lokal, time-lessness, dehumanisasi, dan kekewaan (disenchantment)[7].

Pada dasarnya masih banyak lagi ilmuwan sosial yang memberi perhatian serius terhadap fenomena kontemporer ini. Namun beberapa definisi yang coba ditampilkan diatas diharapkan cukup mewakili. Artinya, globlisasi tidak hanya terkait dengan domain kehidupan ekonomi antar negara, namun ia bersinggungan pula dengan domain-domain kehidupan lain; budaya, nilai, dan lain-lain. Namun yang menjadi perhatian tulisan ini adalah bagaimana globalisasi, dalam pandangan umum, menjanjikan berbagai mimpi tentang tata dunia yang lebih adil dan kebudayaan yang lebih maju. Sementara yang menjadi pangkal dan orientasi dari proses ini merupakan kepentingan barat. Inilah yang kemudian penulis sebut dengan mitos-mitos globalisasi. Kemudian benarkan globalisasi menepati janjinya?

Globalisasi yang ingkar janji

Joseph Stiglitz memberikan judul Broken Promise (janji yang rusak) dalam bagian dua bukunya yang berjudul Globalization and its discontentz. Stiglitz merasa tergelitik saat membaca bahwa motto Bank Dunia adalah Our Dream is a World Without Poverty. Stiglitz merupakan tokoh yang menkritik keras Bank dunia, WTO, dan IMF sebagai institusi yang menjadi aktor penting dalam dinamikan global yang menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di banyak negara berkembang. Peran mereka bukan memperbaiki tapi malah memperburuk krisis ekonomi global[8]. Stiglitz menjelaskan bahwa kehadiran institusi-institusi tersebut seperti seorang anak kecil yang memuntun seorang tua yang yang buta. A young boy leading an old blind man[9]. Maksud dari pernyataan Stiglitz tersebut adalah bagaimana institusi semacam IMF dan WTO, yang tidak memiliki sumber daya selain modal, mampu melakukan intervensi yang besar dan menentukan arah kebijakan dari negara-negara berkembang.

Sebagai ilustrasi, Stiglitz mengangkat kasus etiopia yang disokong IMF dalam upaya perbaikan kehidupan ekonomi negara tersebut. Pada pra-1990 pendapatan perkapita etiopia rata-rata adalah berkisar sekitar $110 per tahun. Namun sejak tahun 1991, di bawah pimpinan Meles Zenawi, seorang yang memiliki background pendidikan ekonomi mulai membangun Etiopia. Meles benar-benar melakukan usaha keras, antara lain dengan membenahi kehidupan politik dengan menekankan prinsip-prinsip demokratis, melakukan desentralisasi, dan memiliki perhatian serius pada pendidikan. Sehingga perlahan perekonomian etiopia mulai beranjak membaik. Namun pada 1997 IMF memberikan sokongan dana sebesar $127 juta. Saat krisis, bantuan IMF ini malah menjadi bumerang dan memperburuk perkonomian Etiopia. Hal ini membuktikan bahwa kehadiran IMF sebagai bentuk sekaligus aktor yang menjadi corong dari prosesi globalisasi ternyata malah menciptakan kehidupan perekonomian yang lebih buruk. Jika kita cermati kiprah IMF di Indonesia, keadaan serupa juga terjadi. Krisis ekonomi pada 1997-an, dan kemudian di sokong oleh IMF sama sekali tidak menjadikan Indonesia keluar dari permasalahan ekonominya hingga saat ini.

Globalisasi, selain menghadirkan institusi global yang produkivitasnya perlu dipertanyakan –seperti IMF, juga memberikan celah kolonialisasi MNC atas negara-negara berkembang. Transfer teknologi yang dijanjikan dalam globalisasi dan transnasionalisasi permodalan ternyata tidak terjadi. Negara berkembang hanya dijadikan pasar oleh MNC-MNC tersebut, dan dibiarkan untuk senantiasa menjadi konsumen. MNC, sebagai capital controler –dalam istilah Jefry Winters- kemudian dapat kapan saja melakukan pemindahan atas modalnya. Ketika negara berkembang mencoba mengeluarkan regulasi untuk membatasi gerak dan akses MNC atas sumber daya, maka ia dapat saja mamindahkan modalnya ke negara lain. Hal ini tentunya akan berdampak pada kehidupan masyarakat berkembang yang telah bergantung hidupnya pada MNC tersebut.

Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa tidak ada kesejahteraan dan tata dunia yang adil yang akan dibawa oleh globalisasi, mana kala segala sesuatunya dibiarkan alamiah. Sebagaimana Stiglitz katakan, North East Bethesda National Bank di Etiopia tidak akan mampu bersaing dengan City Bank. Globalisasi hanya merupakan penyebaran ekonomi pasar keseluruh kawasan dunia yang berbeda-beda[10]. Globalisasi hanya menjadikan negara berkembang semakin bergantung pada teknologi dan modal negara maju yang sedikitpun takkan pernah membagi temuan mereka. Regulasi global yang radikal mutlak diperlukan dalam membendung efek destruktif dari fenomena aksiomatik ini.



[1] Dikutip dari Dr. Firmazah (2007), Globalisasi sebuah proses dialektika sistemik. Yayasan Sad Satria Bakti. Hal 22.

[2] George Ritzer dan Dooglas J. Goodman (2004). Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Hal 591

[3] Dikutip dari Dr. Firmanah (2007), Globalisasi sebuah proses dialektika sistemik. Yayasan Sad Satria Bakti. Hal 22.

[4] ibid

[5] George Ritzer dan Dooglas J. Goodman (2004). Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Hal 590

[6] Ibid. Hal 595

[7] Ibid. Hal 597

[8] Ibid. Hal 598

[9] Joseph Stiglitz. Globalization and its discontents. 2002. W.W Norton & Company. Hal.23

[10] George Ritzer dan Dooglas J. Goodman (2004). Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Hal 588

Tidak ada komentar:

Posting Komentar